SATU BIJI PUISI. Dari kiri ke
kanan Dr Asia Ramli Prapanca (moderator), Mahrus Andis (pembicara), dan Dr
Aslan Abidin, penyair yang puisinya dibahas pada Diskusi Puisi "Pada
Sebuah Reuni", di Kafebaca, Jl Adhyaksa, Makassar, Sabtu, 15 Januari 2022.
(Foto: Asnawin Aminuddin / PEDOMAN KARYA)
------
Selasa, 29
November 2022
Catatan dari Diskusi Puisi “Pada Sebuah Reuni” (2):
Mendiskusikan Puisi “Pada Sebuah Reuni” Karya Aslan Abidin
Oleh: Asnawin Aminuddin
(Wartawan)
Diskusi puisi
atau diskusi buku biasanya membahas satu buah buku kumpulan puisi atau satu
buah buku secara utuh, tapi diskusi puisi yang diadakan Forum Sastra Indonesia
Timur (Fosait) di Kafebaca, Jl Adhyaksa Makassar, Sabtu, 15 Januari 2022, hanya
mendiskusikan “satu biji” puisi.
Hebatnya lagi,
orang-orang yang hadir dalam diskusi itu, baik pembicara, pembanding,
moderator, maupun peserta diskusi, sebagian besar adalah para pendekar sastra,
penyair puisi, cerpenis, dan kritikus sastra.
Hanya beberapa
gelintir yang “penggembira”, karena bukan siapa-siapa dalam dunia sastra atau
dalam dunia ke-penyair-an, tentu termasuk saya, he..he..he…
Mereka yang
hadir antara lain Mahrus Andis (penyair, kritikus sastra), Dr Asia Ramli
Prapanca (penyair, pemain drama, sutradara), Badaruddin Amir (penyair,
cerpenis), Yudhistira Sukatanya (penyair, pemain drama, cerpenis), Dr Suradi
Yasil (penulis, penyair), Tri Astoto Kodarie (penulis, penyair), Bahar Merdu
(penyair, penulis naskah drama, sutradara).
Penyair,
cerpenis, dan penulis lain yang hadir, antara lain Anwar Nasyaruddin, Ishakim,
Muhammad Amir Jaya, Andi Wanua Tangke, Andi Ruhban, Idwar Anwar, Rusdin Tompo,
Syahril Daeng Nassa, Rahman Rumaday, Fadli Andi Natsif, Agus K Saputra, serta
beberapa mahasiswa dan peminat sastra.
“Satu biji”
puisi yang dibahas dalam diskusi itu ialah puisi berjudul “Pada Sebuah Reuni”
karya Aslan Abidin.
Puisi tersebut
dimuat pada halaman 4, Majalah Sastra Horison, Edisi Khusus 55 Tahun Horison
(1966-2021).
Aslan Abidin
adalah seorang penyair, seorang doktor ilmu linguistik, seorang akademisi
(dosen), dan mantan wartawan, yang puisi dan esainya sudah banyak dimuat di
media massa nasional, dan juga sudah banyak yang dibukukan, baik dalam bentuk
buku kumpulan puisi, maupun dalam bentuk satu buku secara utuh (buku tunggal).
Buku tunggal
Aslan Abidin diberi judul Bahaya Laten Malam Pengantin (Ininnawa, 2008), dan
diterbitkan ulang dengan judul Orkestra Pemakaman (Penerbit KPG, 2018).
“Tidak gampang
satu puisi dibahas dalam forum sebesar ini. Mungkin baru pertama kali terjadi.
Terus terang saya bukan penggemar Aslan Abidin. Aslan Abidin saya anggap
biasa-biasa saja,” kata cerpenis Andi Wanua Tangke dengan nada datar.
Sebagai orang
awam dalam dunia sastra dan ke-penyair-an, terus terang saya tidak paham dengan
ucapan Andi Wanua Tangke.
Apakah itu
merupakan bentuk protes, apakah sengaja ingin mengecilkan Aslan Abidin, atau
memang begitu gayanya saat mengkritisi tapi secara tidak langsung ingin
mengangkat maqam orang yang dikritisinya.
Namun satu hal yang pasti,
pernyataan dan pertanyaan Andi Wanua Tangke, langsung menstimulir otak saya
untuk berpikir dan kemungkinan juga menstimulir otak para peserta diskusi.
Sebelum diskusi dimulai,
terlebih dahulu dibacakan puisi “Pada Sebuah Reuni” karya Aslan Abidin
tersebut, dan penyair Muhammad Amir Jaya yang tampil membacakannya.
Berikut teks puisinya:
Pada Sebuah Reuni
reuni, bagai mesin waktu,
-serupa
upaya
sia-sia kembali lagi ke masa
silam semata tunjukkan kalau kita
tidaklah punya kesempatan
kedua.
setidaknya, mementalkan kita
dari
masa lalu serta berhadapan kembali,
berdiri kikuk –sejauh sepuluh
tahun
silam dari lambaian lesu
perpisahan.
kita bersalaman, –berpencaran
pula
kenangan dari ingatan, penuh tanya:
bersama siapa gerangan kini? ––apa
sudah nikah atau masih sendiri
juga?
dulu kau gadis belia penuh
tawaran
cinta di kerlingan matamu, ––
namun aku, lelaki muda yang semata hanya
gemetar bisu ditimpa cinta
pertama.
“ada ruang sepi dalam rongga
diriku,
tempat ku menantimu penuh rindu,
tapi kau tak kunjung datang. tak kau
pahamkah tanda yang aku beri
dulu?”
ya, sungguh reuni sekolah
menengah
atas semata hanya tempat menumpah
sesal. sudah begitu jauhkah dari kita
angan-angan bahagia semasa
remaja?
apa yang dahulu tidak
terungkapkan,
kini tampak tiada berguna, ––impian
serta kenyataan, serupa garis suratan
rumit bersilangan di telapak
tangan
lalu lampu-lampu mulai
dipadamkan
serta pintu-pintu menanti ditutupkan.
mulai membayang rawan kesendirian.
cinta, ternyata masih kukuh
bertahan.
saat seusai reuni malam itu,
sembari
berjalan mundur, kita juga kembali
saling melambai. sebelum berpaling
berbalik jalani nasib
masing-masing.
terasa sunyi membesar setiap
jarak
kita melebar. seperti dulu, kita tak
juga pulang bersama. betapa cinta,
bisa sebegitu bertahan ––dan
sia-sia.
Makassar 2018
Seusai pembacaan puisi oleh
Muhammad Amir Jaya, acara diskusi puisi pun dimulai yang dimoderatori Dr Asia
Ramli Prapanca, dengan pembicara Mahrus Andis, dan pembanding Badaruddin Amir.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar