PENGUASA DAN PENGHIBUR. “Penguasa, Raja, Presiden, Perdana Menteri, kadang-kadang harus mengambil keputusan yang tidak populer dan mungkin tidak bisa menyenangkan semua orang. Sebaliknya, seorang penghibur harus meraih popularitas. Kian banyak pujian dan tepuk tangan karena peran yang dibawakannya, semakin berhasillah ia sebagai penghibur.” - Asnawin Aminuddin -
-------
Penguasa atau Penghibur?
Oleh:
Asnawin
APA perbedaan antara penguasa dan
penghibur? Pertanyaan itu diajukan seorang wartawan kepada seorang seniman
senior saat keduanya sedang santai di sebuah warung kopi.
“Penguasa, Raja, Presiden, Perdana
Menteri, kadang-kadang harus mengambil keputusan yang tidak populer dan mungkin
tidak bisa menyenangkan semua orang. Sebaliknya, seorang penghibur harus meraih
popularitas. Kian banyak pujian dan tepuk tangan karena peran yang
dibawakannya, semakin berhasillah ia sebagai penghibur.”
Si wartawan kembali bertanya; “'Apakah
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) seorang penguasa atau seorang
penghibur?”
“SBY itu penguasa yang sedang menghibur
sejumlah pihak yang berada di sekelilingnya,”' jawab sang seniman dan keduanya
lalu tertawa terbahak-bahak.
Seniman berambut gondrong dan berperut
buncit itu kemudian mengatakan bahwa pergantian dan pergeseran beberapa menteri,
serta pejabat setingkat menteri yang dilakukan SBY, tidak lebih dari upaya
menjaga keseimbangan politik agar pemerintahannya mendapat dukungan besar
secara politis, terutama di parlemen.
Dia mengatakan, SBY pasti tidak lupa
bahwa dirinya seorang penguasa, bahwa dirinya seorang pemimpin, bahwa dirinya
seorang presiden dari sebuah negara berpenduduk lebih dari 200 juta jiwa.
“Sebagai pemimpin, SBY harus mengambil
keputusan yang diyakini baik untuk kemajuan dan kepentingan banyak orang,
meskipun keputusan itu tidak populer dan tidak bisa menyenangkan semua pihak,”'
tutur sang seniman.
“Bisa juga ya, seorang seniman berbicara
seperti seorang pengamat,” kata si wartawan sambil tersenyum.
“Saya memang seniman, tetapi jangan
lupa, saya juga seorang dosen. Dosen seni teater,” jawab sang seniman lalu
tertawa.
Seniman yang akhir-akhir ini cukup rajin
beribadah itu kemudian mengatakan bahwa para Nabi dan Rasul yang diutus Allah
ke muka bumi, menjalankan tugas mulia untuk membawa manusia ke jalan kebenaran,
tetapi mereka dikecam, dimusuhi, dan diperangi.
Risiko itu harus dihadapi para Nabi dan
Rasul, karena mereka memang tidak mencari popularitas, melainkan untuk kebaikan
manusia. Itulah tujuannya.
Luqman Hakim
Sang seniman kemudian bercerita tentang
kisah Luqman Hakim yang namanya terukir dalam al-qur’an.
Suatu hari, Luqman masuk kota bersama
anaknya. Dia mengendarai seekor keledai dan putranya berjalan mengiringi. Saat
melewati sebuah pasar, orang-orang langsung mencibir.
“Enak sekali jadi ayah. Bisa enak-enak
duduk di punggung keledai dan membiarkan anaknya berjalan kaki.”
Mendengar cibiran itu, Luqman menyuruh
anaknya menggantikan posisinya. Dia berjalan dan anaknya naik keledai. Ketika
melewati perkampungan penduduk, masyarakat setempat kemudian berkomentar.
“Dunia sudah terbalik. Orangtua sudah
menjadi hamba bagi anaknya.”
Tidak enak mendengarkan omongan itu,
Luqman kemudian mengajak anaknya sama-sama berjalan kaki dan membiarkan
keledainya melenggang tanpa penumpang.
“Bodoh sekali kedua orang itu. Untuk apa
ada keledai kalau tidak ditunggangi,” kata pengawal kerajaan saat Luqman dan
anaknya lewat di depan Istana Raja.
Karena terus menerus mendapat sorotan,
Luqman kemudian mengajak anaknya memanggul keledai dengan sebatang bambu.
“Mereka mungkin sudah gila. Keledai yang
sehat itu bukannya ditunggangi, malah dipanggul.”
Luqman kemudian menasehati anaknya agar
tidak terus menerus mengikuti pendapat orang lain, karena kita pasti tidak akan
mampu mengambil keputusan, karena setiap keputusan yang diambil pasti akan
dinilai salah.
Kuatkan keyakinanmu dalam mengambil keputusan,”
ujarnya.
Mendengar kisah tersebut, si wartawan
tampak termenung.
“Kalau suatu saat nanti Anda ditakdirkan
menjadi wakil bupati atau wakil gubernur, apakah Anda ingin menjadi penguasa
atau menjadi penghibur?” tanya sang seniman sambil menghirup kopinya.
Mendengar pertanyaan itu, si wartawan
hanya tertawa.***
Makassar,
13 Mei 2007
(Dimuat
di Pedoman Rakyat, edisi 14 Mei 2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar