27 Februari 2010

Korupsi, Ya, Korupsi



Korupsi, Ya, Korupsi

Oleh: Asnawin

(Mahasiswa S2 Ilmu Komunikasi Universitas Satria, Makassar)

Ada empat hukum dasar logika, yaitu hukum identitas, hukum kontradiksi, hukum tiada jalan tengah, dan hukum cukup alasan. ‘’Hukum identitas’’ menyebutkan bahwa sesuatu adalah selalu sama atau identik dengan dirinya sendiri. Menurut hukum ini, A adalah A dan bukan yang lainnya. Keberadaannya absolut. Contohnya, korupsi adalah korupsi, bukan yang lain.

Itu adalah sesuatu yang logis. Ketika ada penyimpangan atau pelanggaran hukum identitas, maka terjadilah sesuatu yang tidak logis. Korupsi misalnya, kalau dibelokkan menjadi salah prosedur atau kesalahan administratif maka ia menjadi tidak logis, karena awalnya ia adalah suatu perbuatan korupsi, namun kemudian dibelokkan sehingga menjadi bukan korupsi.

Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan korupsi? Korupsi berasal dari Bahasa Latin, corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok.

Korupsi cukup banyak definisinya. Salah satu di antaranya diutarakan Transparansi Internasional, dengan mengatakan korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan cara menyalahgunakan kekuasaan publik, yang dipercayakan kepadanya.

Secara hukum, definisi korupsi dijelaskan pada 13 pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 junto UU No. 20 Tahun 2001. ‘’Berdasarkan itu, korupsi dirumuskan dalam 30 bentuk, yang dikelompokkan ke dalam kerugian negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan dan gratifikasi.’’

Pendapat lain mengatakan, korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan (wewenang) publik untuk memperoleh keuntungan pribadi atau kelompok yang menjadi gantungan kesetiaan.

Dari berbagai definisi itu, dapat disimpulkan bahwa korupsi mengandung unsur-unsur melawan hukum, melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan yang ada pada pelaku korupsi karena jabatan atau kedudukannya, kerugian keuangan (kekayaan dan atau perekonomian) negara, serta memperkaya diri sendiri (orang lain dan atau korporasi).

Menurut Amien Rais (2008), korupsi itu ada dua macam. Pertama, korupsi biasa, mulai dari korupsi kecil-kecilan (petty corruption) hingga korupsi besar-besaran (grand corruption). Kedua, korupsi yang menyandera negara (state capture corruption atau state-bijacked corruption).

Beberapa kasus korupsi di Indonesia yang mencuat ke permukaan, ada yang berakhir dengan hukuman penjara, tetapi tidak sedikit juga yang akhirnya dianggap sebagai kesalahan prosedur atau kesalahan administratif.

Kasus pengucuran dana talangan triliunan rupiah oleh pemerintah untuk menyuntik bank bermasalah, memang dibolehkan selama semuanya berlangsung wajar, logis, dan sesuai aturan. Namun kalau ada indikasi ketidakwajaran, misalnya karena pemilik bank bersangkutan merampok uang di bank-nya sendiri sehingga bank tersebut bangkrut, lalu pemerintah yang turun tangan menyelamatkan bank tersebut, maka itu adalah sesuatu yang tidak logis. Karena tidak logis dan dianggap melanggar ‘’hukum identitas’’, maka sangat pantas kalau kemudian banyak yang mempersoalkannya, mulai dari rakyat biasa hingga wakil rakyat di parlemen.

Rasional dan Transparan

Hukum kedua dalam hukum dasar logika adalah ‘’hukum kontradiksi’’ yang menyatakan bahwa sesuatu pada waktu yang sama tidak dapat sekaligus memiliki sifat tertentu dan juga tidak memiliki sifat tertentu itu. Misalnya, suatu perbuatan tidak mungkin secara bersamaan dianggap sebagai korupsi dan bukan korupsi.

Begitu pun seorang pejabat publik misalnya, tidak mungkin ia mengampanyekan perlunya pemberantasan korupsi lalu ia sendiri yang melakukan korupsi. Kalau pun terjadi, maka itu berarti menyalahi atau melanggar hukum kontradiksi dan karenanya perbuatan pejabat publik bersangkutan adalah tidak logis.

Hukum ketiga adalah ‘’hukum tiada jalan tengah’’ yang menyatakan bahwa sesuatu itu pasti memiliki suatu sifat tertentu atau tidak memiliki sifat tertentu itu, dan tidak ada kemungkinan ketiga. Hukum ketiga dalam hukum dasar logika ini merupakan kelanjutan dari hukum kedua. Hukum ketiga ini memberi landasan bagi kejernihan dan konsistensi dalam berpikir.

Misalnya pejabat publik yang mengampanyekan perlunya pemberantasan korupsi lalu ia sendiri yang melakukan korupsi karena sedang mencoba-coba sebagai kemungkinan ketiga, maka kemungkinan ketiga ini pasti ditolak.

Menurut ‘’hukum tiada jalan tengah’’, kemungkinannya hanya dua, yakni pejabat publik tersebut memang antikorupsi atau memang seorang koruptor. Tidak ada kemungkinan lain sebagai kemungkinan ketiga.

Hukum keempat atau hukum terakhir dalam hukum dasar logika adalah ‘’hukum cukup alasan’’, yaitu jika terjadi perubahan pada sesuatu, maka perubahan itu harus berdasarkan alasan yang cukup memadai dan cukup dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Indikator rasional menjadi penting karena kebenaran yang paling bisa dipertanggungjawabkan adalah kebenaran ilmiah.

Pengucuran dana talangan triliunan rupiah oleh pemerintah misalnya untuk menyelamatkan sebuah bank bermasalah, harus disertai argumentasi yang rasional, transparan, sekaligus cukup jelas bagi rakyat kebanyakan.

Hal tersebut perlu dilakukan karena dana talangan triliunan rupiah pastilah menggunakan uang negara yang berarti uang rakyat, apalagi kalau rakyat sudah terlanjur tahu dan kemudian terbentuk opini publik bahwa ada yang tidak logis dalam pengucuran dana talangan tersebut.

Penjelasan bahwa pengucuran dana talangan tersebut dilakukan karena dikhawatirkan akan terjadi dampak sistemik terhadap perbankan nasional, bukan merupakan penjelasan yang cukup alasan.

Penjelasan yang cukup adalah penjelasan yang komprehensif atau menyeluruh mulai dari penyebab bangkrutnya bank bermasalah tersebut, alasan dan dasar hukum pengambilan kebijakan pengucuran dana talangan, serta tindak lanjut terhadap pemilik bank yang merampok uang di bank-nya sendiri.

Pelanggaran atau penyimpangan terhadap keempat hukum dasar logika formal ini bisa jadi tidak menyebabkan seseorang atau sejumlah orang masuk penjara, tetapi seseorang atau sejumlah orang tersebut akan mendapat vonis ‘’tidak logis’’ dari orang dekat, keluarga, tetangga, dan atau publik.

Seseorang yang divonis ‘’tidak logis’’ akibat perbuatan korupsi misalnya, mungkin akan selamanya dianggap dan dikenang sebagai koruptor hingga mati, karena siapa pun tidak mungkin melakukan banding atau kasasi kepada semua orang yang telah menjatuhkan vonis ‘’tidak logis’’. Untuk menghindari vonis ‘’tidak logis’’, sebaiknya janganlah melawan atau melanggar hukum dasar logika.

- Keterangan: artikel ini dimuat Harian Fajar, Makassar, pada halaman 4, hari Kamis, 25 Februari 2010

[Terima kasih atas kunjungan, komentar, saran, dan kritikan anda]

13 Februari 2010

Kiat Sukses Tribun Timur di Tengah Persaingan



Opini Harian TRIBUN TIMUR Makassar
(www.tribun-timur.com)
Sabtu, 13 Februari 2010

Kiat Sukses Tribun Timur di Tengah Persaingan

Asnawin

(mahasiswa S2 Ilmu Komunikasi Universitas Satria Makassar)

Teknologi informasi dan komunikasi telah membentuk kebiasaan baru masyarakat dunia. Siapa saja yang tidak segera menyesuaikan diri, ia akan tertinggal dan dilupakan. Hukum aksiomatik teknologi berkembang berdasarkan deret ukur, melampaui deret hitung. Jika tidak berani melakukan lompatan penyesuaian, kita akan tertinggal jauh.

Demikianlah sifat perubahan dan penetrasi teknologi informasi dan komunikasi terhadap pola dan gaya hidup dalam pergaulan masyarakat modern. Untuk mampu bertahan hidup di era teknologi informasi dan komunikasi dengan perubahan yang gencar dan dahsyat itu, dibutuhkan kemampuan penyesuaian diri.

Charles Darwin dalam teori evolusinya mengatakan bahwa pada akhirnya, bukan yang kuat yang mampu bertahan hidup (survive), melainkan yang bisa menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

Teori evolusi yang telah berusia satu setengah abad itu tidak perlu lagi diragukan atau disangkal kebenarannya, termasuk dalam dunia media massa. Banyak media massa, terutama media cetak, yang akhirnya mati karena tak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya dan di lingkungan pergaulan global.

Salah satu contohnya yaitu harian Pedoman Rakyat di Makassar yang terbit sejak 1 Maret 1947 dan pernah begitu berjaya di Sulawesi Selatan, namun akhirnya mati dan tidak terbit lagi sejak 3 Oktober 2007, karena tak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan dan perkembangan.

Pertanyaannya kemudian adalah apa kiat atau jurus apa yang digunakan oleh media cetak untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dan perubahan yang terjadi di sekitarnya agar mampu bertahan hidup dan eksis di tengah persaingan antar-media?

Untuk menjawab pertanyaan itu, izinkan saya mengambil sampel harian Tribun Timur yang terbit di Makassar sejak 9 Februari 2004.

Tribun Timur hadir di saat persaingan antar-media massa begitu ketat. Ketika Makassar disesaki ratusan media massa, mulai dari media cetak, hingga media elektronik dan media online. Hingga Februari 2010 ini saja, PWI Sulawesi Selatan mencatat sekitar 80-an media cetak berdasarkan tempat bekerja wartawan yang terdaftar sebagai anggotanya. Jumlah tersebut sudah jauh berkurang dibandingkan beberapa tahun sebelumnya.

Tribun Timur hadir di saat banyak orang yang ragu atas masa depan media cetak. Pendiri Microsoft, Bill Gates, pada tahun 1990 pernah meramalkan bahwa media cetak ''surat kabar akan mati'' dalam tempo 10 tahun ke depan atau tepatnya sepuluh tahun sejak dimulainya era internet. Ternyata ramalan tersebut tidak terbukti.

Belakangan, Bill Gates kembali membuat ramalan bahwa mungkin sampai 50 tahun ke depan masih ada orang yang mencetak surat kabar, tetapi ia berkeras bahwa suatu saat nanti tidak ada lagi surat kabar atau koran, majalah, dan bahkan buku pun tidak ada lagi yang dicetak. Semua akan tampil secara digital melalui sebuah alat berbentuk tablet atau elektronik paper.

Kita tidak tahu apakah ramalan Bill Gates bakal terbukti atau lagi-lagi meleset. Yang pasti, Bill Gates berpikir dan berbicara sebagai ahli teknologi, bukan sebagai wartawan atau pakar media massa.

Tribun Timur mungkin lebih memercayai Wolfgang Riepl, pemimpin redaksi Nuernberger Zeitung, dibanding Bill Gates.

Pada tahun 1913, Wolfgang Riepl dengan berani mengatakan bahwa media baru bukan pengganti atau substitusi media lama, melainkan tambahan atau kumulatif. Buktinya kehadiran televisi sebagai media massa interaktif, juga tidak mematikan surat kabar, karena televisi hanyalah tambahan atau kumulatif, dan bukan pengganti surat kabar.

Penyesuain

Media massa online yang menggunakan internet sebagai sarananya, memang tengah ''naik daun'' dan digandrungi ratusan juta, bahkan mungkin miliaran orang di dunia, tetapi masih banyak orang yang membutuhkan media cetak surat kabar untuk mendapatkan informasi dan hiburan.

Antara media cetak dan media online akan terjalin sebuah konvergensi, saling melengkapi satu dengan yang lain. Kelebihan media online yang bisa menyajikan berita secara cepat dan real time, memang takkan bisa ditandingi oleh media cetak.

Karena itu untuk bisa bertahan, media cetak harus membuat berbagai perubahan. Perubahan ini misalnya dengan membuat ukuran koran lebih kecil untuk menarik minat sekaligus memudahkan konsumen membacanya, serta membuat versi online.

Media cetak surat kabar, tabloid, dan majalah yang tidak melakukan penyesuaian, baik bentuk maupun isinya, dapat dipastikan akan tertinggal, ditinggalkan pembacanya, dan akhirnya mati.

Apa yang dilakukan oleh harian Tribun Timur sehingga mampu bertahan hidup dan eksis di tengah persaingan antar-media, khususnya di Sulawesi Selatan? Jawabnya, Tribun Timur sudah melakukan banyak hal untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dan perubahan di sekitarnya.

Dari berbagai rubrik yang disajikan dalam versi media cetak, Tribun Timur yang lahir bertepatan dengan Hari Pers Nasional (HPN) enam tahun silam, tampak jelas telah dan terus menerus berupaya memenuhi kebutuhan masyarakat profesional kota dan keluarga metropolitan.

Tribun Timur antara lain memanjakan pembacanya dengan suguhan berita dan rubrik gaya hidup (lifestyle), seperti Tribun Women, Tribun Kids, Tribun Health, Cellular Style, Tribun Automoto, Tribun Motor, Tribun Griya, Tribun Skul, Tribun Property, Tribun Techno, Tribun Shopping, Tribun Mal, dan masih banyak lagi.

Rubrik-rubrik tersebut juga sangat interaktif dan variatif, gaul, serta komunikatif. Tribun Timur pun melibatkan masyarakat melalui citizen reporter, melalui pesan singkat sms, melalui facebook, dan public services.

Selain berupaya memenuhi kebutuhan masyarakat perkotaan, Tribun Timur juga berupaya mendekatkan diri dengan masyarakat kabupaten dan desa-desa dengan membuka rubrik daerah (Sulsel dan Sulbar).

Rubrik umum juga banyak, antara lain Opini, Politik, Nasional, Internasional, Bisnis, dan Olahraga (super ball, soccer hot ews, sport style, sport hot news, tribun psm). Tribun pun tak lupa mengakomodir kebutuhan beberapa komunitas, antara lain komunitas warga keturunan Tionghoa.

Sejak awal kelahirannya, Tribun Timur juga langsung hadir dengan edisi online melalui www.tribun-timur.com, yang menampilkan ulang berita-berita dan informasi yang telah ditampilkan dalam versi cetak, serta berita-berita real time (berita-berita yang dapat berubah setiap saat).

Informasi dan berita-berita yang disajikan Tribun Timur melalui berbagai penyesuaian itu telah menimbulkan efek komunikasi massa yang efektif, sehingga disenangi masyarakat dan banyak iklannya. Inilah kiat sukses Tribun Timur sehingga mampu eksis di tengah persaingan antar-media massa.

Rubrik yang disajikan dan gaya penyajian Tribun Timur, baik versi cetak maupun versi online secara langsung maupun tidak langsung telah menerpa, menarik perhatian, memberikan pemahaman, serta mengubah perilaku dan sikap masyarakat pembacanya.

Itu semua tentu tidak terlepas dari hasil penelitian pasar (market research) yang dilakukan manajemen Tribun Timur untuk mengetahui profil pembacanya, rubrik apa yang disenangi, koran apa yang dianggap pesaing, dan sebagainya. Intinya, Tribun Timur ingin mengetahui apakah pasarnya sudah berubah atau belum. Kalau sudah berubah, tentu akan diadakan kebijakan lain agar Tribun Timur tetap disenangi atau tepatnya dipahami pembacanya.

Mengakhiri tulisan ini, izinkan saya mengucapkan Selamat Ulang Tahun ke-6 kepada harian Tribun Timur dan Selamat Hari Pers Nasional 2010. Semoga pers, pemerintah, dan masyarakat dapat saling bersinerji secara positif untuk mengisi kemerdekaan dan membangun bangsa Indonesia ke depan.***

11 Februari 2010

Pilih Cabup Politisi, Birokrat, Praktisi, atau Militer



Pilih Cabup Politisi, Birokrat, Praktisi, atau Militer

Oleh : Asnawin
(Mahasiswa S2 Ilmu Komunikasi Universitas Satria, Makassar)

Manusia selalu diperhadapkan kepada pilihan-pilihan, termasuk dalam memilih calon pemimpinnya. Ada banyak kriteria calon pemimpin, mulai dari kriteria umum sampai kriteria khusus, tetapi tulisan ini tidak membahas masalah kriteria pemimpin,melainkan gaya kepemimpinan dari sudut pandang Ilmu Komunikasi.

Gaya kepemimpinan yang akan dibahas adalah gaya kepemimpinan para bupati dan walikota di Sulawesi Selatan, agar masyarakat tahu dan kelak dapat menentukan pilihannya bila diperlukan.

Dalam teori ilmu komunikasi disebutkan bahwa kepemimpinan adalah proses memengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan tertentu.

Proses ini tentu memerlukan keahlian berkomunikasi yang efektif, yaitu kemampuan menyampaikan makna, sehingga orang lain terpengaruh dan mau mengerjakan suatu kegiatan yang diharapkan. Setiap gaya kepemimpinan diduga akan memiliki gaya komunikasi tertentu pula yang akan memengaruhi efektifitas kelompok atau masyarakat yang dipimpinnya.

Gaya kepemimpinan, bahasa, dan tindakan para bupati dan walikota di Sulawesi Selatan antara lain bisa dilihat dari latar belakang profesi mereka sebelum menjadi bupati atau walikota.

Dari 24 bupati dan walikota di Sulawesi Selatan saat ini, sebanyak 13 orang di antaranya berlatar-belakang birokrat. Sisanya, empat pengusaha, dua jaksa, dua politisi, serta masing-masing satu akademisi, satu pengacara, dan satu militer. Dengan demikian, ada tujuh latar belakang profesi dari 24 bupati dan walikota di Sulawesi Selatan saat ini.

Dikaitkan dengan beberapa gaya kepemimpinan, dapat dikatakan bahwa seorang birokrat biasanya terpengaruh dengan sistem dan pola. Gaya kepemimpinan atau bahasa dan tindakan birokrat kerapkali mengacu kepada sistem dan pola yang sudah ada, sehingga mereka condong mengendalikan, mengarahkan, menjelaskan, dan memberi instruksi.

Pengusaha biasanya senang dengan tantangan dan tidak terlalu peduli dengan proses. Dalam memimpin, pengusaha cenderung lebih mementingkan hasil dibandingkan proses, sehingga gaya kepemimpinannya lebih banyak memberi tantangan dan rangsangan, serta melibatkan atau memberdayakan orang lain. Seorang pengusaha juga tak jarang ‘’menabrak’’ aturan tetapi tidak melanggar, karena aturan yang beku atau kaku kerapkali menghalangi pencapaian hasil.

Jaksa sebenarnya juga seorang birokrat. Selain terpengaruh dengan sistem dan pola, jaksa juga selalu mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang ada. Bahasa dan tindakan jaksa dalam memimpin lebih banyak menjelaskan, memberi instruksi, serta mengganjar orang yang dipimpinnya.

Pengacara adalah seorang praktisi hukum yang sedikit banyaknya selalu mengacu kepada perundang-undangan atau aturan yang ada dalam setiap bahasa dan tindakannya. Namun sebagai seorang praktisi, seorang pengacara juga cenderung lebih mementingkan hasil dibandingkan proses, sehingga gaya kepemimpinannya lebih banyak memberi tantangan dan rangsangan, serta melibatkan atau memberdayakan orang lain.

Politisi selalu berpikir tentang dampak atau implikasi politik dalam setiap ucapan dan tindakan yang dilakukannya, sehingga gaya kepemimpinannya cenderung lebih banyak mendorong atau mendukung orang lain, tetapi tetap melakukan pengendalian dan tidak melepaskan sepenuhnya kepercayaan yang telah diberikan kepada orang lain.

Seorang akademisi tak pernah berhenti berpikir dan selalu membuat perencanaan sebelum melakukan sesuatu. Bahasanya terstruktur dan tindakannya lebih banyak bersifat mendidik. Gaya kepemimpinan seorang akademisi cenderung menggunakan asumsi ‘’Teori Y’’ McGregor (1967), yang memandang manusia (orang yang dipimpin) sebagai organisme biologis yang tumbuh, berkembang, dan melakukan pengendalian terhadap diri mereka sendiri.

Militer biasanya ‘’sedikit bicara banyak bekerja’’, namun ada kecenderungan gaya kepemimpinannya bersifat mengarahkan atau mengendalikan orang lain, serta memberi ganjaran atau memperkuat orang lain, khususnya orang yang dipimpinnya.

Seorang militer cenderung menggunakan asumsi ‘’Teori X’’ McGregor yang memandang manusia sebagai suatu mesin yang amat memerlukan pengendalian dari luar, sehingga menganggap cara terbaik untuk memotivasi pegawai atau bawahannya adalah dengan memberi rasa takut, ancaman, dan hukuman.

Selain ada pengaruh dari latar belakang profesi mereka, gaya kepemimpinan para bupati dan walikota tentu juga dipengaruhi oleh situasi dan kondisi setempat, baik budaya dan kebiasaan yang ada, maupun perkembangan politik yang terjadi di wilayahnya masing-masing. Dengan demikian, mereka menggunakan kombinasi perilaku komunikatif yang berbeda ketika menanggapi keadaan sekelilingnya.

Gaya Kepemimpinan

Watak dan bakat bawaan juga besar andilnya terhadap gaya kepemimpinan bupati dan walikota. Dari berbagai macam pengaruh tersebut, maka lahirlah sejumlah gaya kepemimpinan, antara lain gaya pengalah (improverished style), gaya pemimpin pertengahan (middle-of-the-road style), gaya tim (team style), gaya kerja (task style), dan gaya santai (country club style). (Blake dan Mouton, 1964).

‘’Gaya Pengalah’’ cenderung menerima atau menyetujui keputusan, pendapat, sikap, dan gagasan orang lain, serta menghindari sikap memihak. Jika terjadi konflik, pemimpin gaya pengalah tetap netral dan berdiri di luar masalah, sehingga jarang terlibat.

‘’Gaya Pemimpin Pertengahan’’ berupaya jujur tetapi tegas terhadap pendapat, gagasan, dan sikap yang berbeda dengan yang dianutnya, serta mencari pemecahan masalah yang tidak memihak. Pemimpin seperti ini berupaya memertahankan keadaan agar tetap baik, tetapi jika mendapat tekanan mungkin saja menjadi bimbang dan mencari jalan untuk menghindari ketegangan.

‘’Gaya Tim’’ sangat menghargai keputusan yang logis dan kreatif. Ia senang mendengarkan dan mencari gagasan, pendapat dan sikap yang berbeda dengan yang dianutnya, serta menghargai pekerjaan orang. Ia mampu mengendalikan diri sekalipun dalam keadaan marah, bahkan mampu menampakkan sikap humor meskipun dalam keadaan tertekan. Pemimpin gaya tim selalu mengikutsertakan orang lain untuk ikut bergabung bersamanya, serta menumbuhkan sikap saling memercayai dan saling menghargai. Bila terjadi konflik, mereka mencoba memeriksa alasan-alasan timbulnya perbedaan dan mencari penyebab utamanya.

‘’Gaya Kerja’’ sangat menghargai keputusan yang telah dibuat, dan memberi perhatian besar kepada pelaksanaan dan penyelesaian pekerjaan secara efisien. Pemimpin gaya kerja cenderung memertahankan gagasan, pendapat, dan sikapnya dengan cara menekan orang lain. Jika terjadi konflik, ia cenderung menghentikannya atau memenangkan posisinya dengan cara membela diri, berkeras pada pendiriannya, atau bahkan mengulangi konflik dengan sejumlah argumentasi baru.

‘’Gaya Santai’’ sangat menghargai hubungan baik di antara sesama orang, serta lebih senang menerima pendapat orang lain dari pada memaksakan kehendaknya. Pemimpin gaya santai selalu bersikap hangat dan ramah untuk mengurangi ketegangan yang ditimbulkan oleh adanya gangguan. Ia menghindari terjadinya konflik, tetapi jika tidak bisa menghindari terjadinya konflik, maka ia mencoba melunakkan perasaan orang lain dan menjaga agar orang lain tetap mau bekerja sama.

Mungkin tidak persis sama antara teori dan kenyataan di lapangan, tetapi sedikit banyaknya ada kemiripan, dan dari situ kita kelak dapat menentukan apakah akan memilih calon bupati dari latar belakang politisi, birokrat, praktisi (pengusaha, pengacara), atau militer.

Khusus kepada para bupati dan walikota yang kini tengah mendapat amanah menjadi pemimpin, diharapkan agar ‘’memperlakukan orang lain sebagai kawan’’, serta ‘’membantu anak buah untuk mengembangkan keahlian yang dibutuhkan pekerjaan’’, atau ‘’mengarahkan anak buah untuk menemukan kemampuan-kemampuan yang mereka miliki.’’

keterangan:
- artikel opini ini dimuat di Harian Ujungpandang Ekspres, Makassar, pada halaman 2 (rubrik Opini), Jumat, 12 Februari 2010.