23 September 2007

Sungguh Terlalu!



Dengan berbagai bentuk penipuan itu, akhirnya banyak pengunjung yang terkecoh sehingga ada beberapa kejadian lucu. Ada pengunjung yang tersenyum-senyum, ada pengunjung yang mengejek penjaga toko, ada pengunjung yang mengumpat, dan ada juga pengunjung yang batal membayar pakaian yang sudah dipilih, karena ternyata harganya tidak sesuai yang disangka sebelumnya.


17 September 2007

Puisi Buat Si Polan


Oleh : Asnawin
email : asnawin@hotmail.com

Abunawas kaget mendengar berita tentang dijatuhkannya vonis dua tahun penjara kepada Si Polan. Abunawas kaget karena Si Polan baru dua hari lalu dilantik sebagai anggota parlemen pengganti artarwaktu.
Nalurinya sebagai seniman langsung bekerja. Abunawas ingin membuat puisi buat Si Polan. Ia pun segera mengumpulkan serpihan ingatannya tentang Si Polan. Maka meluncurlah beberapa bait.

Ketika masih kuliah
Si Polan....
Biasa-biasa saja

Ketika masih kuliah
Si Polan....
Tidak terlalu dikenal

Ketika masih kuliah
Si Polan....
Bukan mahasiswa berprestasi

Ketika masih kuliah
Si Polan....
Bukanlah siapa-siapa

Abunawas kembali membuka memorinya tentang Si Polan. Belasan tahun lalu, ia berkenalan dengan Si Polan dan ingatannya pun kembali.

Setelah meraih gelar sarjana
Si Polan....
Menjadi pegawai negeri sipil

Setelah meraih gelar sarjana
Si Polan....
Aktif berorganisasi

Setelah meraih sarjana
Si Polan....
Memimpin sebuah perusahaan

Setelah meraih gelar sarjana
Si Polan....
Menjadi terkenal

Abunawas tidak pernah akrab dengan Si Polan, karena dirinya bukanlah siapa-siapa di mata Si Polan. Abunawas hanya seorang seniman yang penghasilan dan hidupnya pas-pasan. Abunawas kemudian melanjutkan puisinya.

Si Polan muncul
Sebagai wakil dari generasi muda
Yang cukup menonjol

Si Polan dianggap sukses
Mengelola dan membesarkan
Perusahaan titipan banyak orang

Si Polan pun dianggap sukses
Memimpin
Sebuah organisasi kepemudaan

Si Polan kemudian
Memimpin
Sebuah organisasi olahraga

Si Polan berhasil
Mengangkat prestasi
Tim olahraga yang dipimpinnya

Si Polan menjadi publik figur
Kemudian
Terpilih menjadi anggota parlemen

Si Polan lalu muncul
Sebagai orang yang berkiprah
Di Ibukota Negara

Abunawas cukup bangga karena orang sekampungnya berhasil meniti karir dan meraih prestasi di tingkat nasional. Tidak banyak orang sekampungnya yang mampu menonjol di tingkat nasional.

Di tingkat nasional
Si Polan lagi-lagi
Mendapat kepercayaan

Di tingkat nasional
Si Polan terpilih memimpin
Perusahaan milik orang banyak

Di tingkat nasional
Si Polan terpilih memimpin
Organisasi olahraga

Kebanggaan Abunawas kepada Si Polan makin bertambah, karena orang sekampungnya itu kemudian menjadi buah bibir, berkat berbagai prestasi yang diukirnya.

Nama Si Polan melambung
Nama Si Polan terkenal
Nama Si Polan menjadi buah bibir

Yang membuat Abunawas senang dan terharu, karena dirinya tak pernah mendengar cerita miring tentang Si Polan. Tak ada cerita tentang perselingkuhan, ekstasi, narkoba, dan kehidupan malam.

Tapi, Si Polan biasa-biasa saja
Tapi, Si Polan tetap tampil sederhana
Tapi, Si Polan tetap rajin beribadah

Si Polan kaya raya
Si Polan punya kedudukan
Si Polan tetap Si Polan

Banyak orang
Yang....
Memuji Si Polan

Banyak orang
Yang....
Bergantung kepada Si Polan

Banyak orang
Yang....
Memanfaatkan Si Polan

Itulah sebabnya Abunawas kaget luar biasa setelah mendengar berita tentang vonis penjara dua tahun ditambah denda puluhan juta rupiah kepada Si Polan.

Tiba-tiba...
Si Polan tersandung
Dan jatuh

Tiba-tiba...
Si Polan terjerat
Kasus korupsi

Tiba-tiba...
Si Polan sakit
Dan mendapat perawatan

Kemudian...
Si Polan diadili
Dan masuk bui

Kemudian...
Nama Si Polan
Rusak

Kemudian...
Nama Si Polan
Hancur

Banyak orang yang kaget
Banyak orang yang heran
Banyak orang yang bertanya-tanya

Abunawas masih tidak percaya. Bernarkah Si Polan seorang koruptor. Ia ragu, tetapi bagaimana pun, putusan pengadilan tidak bisa ditampik begitu saja.

Benarkah Benarkah...
Si Polan...
Korupsi...?

Benarkah...
Si Polan...
Jahat...?

Benarkah...
Si Polan...
Pendusta...?

Jawablah Polan!
Benarkah semua itu?
Benarkah mereka?

Jawablah Polan!
Benarkah kamu korupsi?
Benarkah kamu jahat?

Jawablah Polan!
Benarkah kamu pendusta?
Benarkah kamu pembohong?

Kekaguman Abunawas terhadap Si Polan masih ada. Abunawas tidak rela kalau kekagumannya itu luntur dan hilang, hanya karena Si Polan divonis penjara.

Dulu.....
Aku.....
Mengagumimu

Dulu.....
Aku.....
Menyayangimu

Dulu.....
Aku.....
Mencintaimu

Aku ingin
Tetap....
Mengagumimu

Aku ingin
Tetap....
Menyayangimu

Aku ingin
Tetap....
Mencintaimu

Abunawas merasa puisinya sudah cukup, tetapi judulnya belum ada. Ia penasaran dan juga ada rasa kesal. Maka dengan mantap ia memilih judul: "Jawablah Polan!"

Makassar, 16 September 2007

copyright@pedoman rakyat
makassar, 17 september 2007

10 September 2007

Kumis, Janggut, dan Tahi Lalat


Oleh : Asnawin
email : asnawin@hotmail.com

Ada tiga negeri bertetangga yang saling membenci satu sama lain. Negeri pertama bernama Negeri Kumis, negeri kedua bernama Negeri Janggut, dan negeri ketiga bernama Negeri Tahi Lalat.
Di Negeri Kumis, hampir semua laki-laki memiliki kumis dengan bermacam-macam model. Ada yang berkumis tipis, ada yang berkumis sedang, ada yang berkumis tebal, ada yang berkumis panjang, ada yang kumisnya panjang diplintir, dan bermacam-macam model kumis lainnya.
Penduduk Negeri Kumis sangat membenci janggut. Para laki-laki dewasa setiap hari mencukur janggutnya. Setiap ada turis atau pendatang dari negeri lain yang berjanggut, mereka langsung menganjurkan agar janggut tersebut dicukur, karena tidak sesuai dengan adat kebiasaan, tidak sesuai dengan seni, dan tidak sesuai dengan budaya di Negeri Kumis.
Penduduk Negeri Kumis juga membenci tahi lalat, apalagi kalau tahi lalat itu tumbuh di sekitar wajah. Kalau tahi lalat itu muncul di bagian tubuh selain wajah, biasanya dibiarkan saja atau ditutupi dengan sesuatu, tetapi kalau tahi lalat itu tumbuh di wajah, maka tahi lalat itu langsung dicabut melalui operasi yang memang digratiskan di Negeri Kumis.
Kalau ada orang yang "melanggar" kebiasaan itu, biasanya orang itu akan mendapat berbagai masalah, antara lain dikucilkan dan sulit menduduki jabatan tinggi di kerajaan atau di tempat kerja mereka.
Orang yang memelihara janggut akan diberi sebutan kambing dan dianggap sok alim, sedangkan laki-laki yang memelihara tahi lalat akan disebut bencong alias banci.
Saking pentingnya kumis untuk menjaga kultur dan jati diri Negeri Kumis, sampai-sampai ada menteri yang mengusulkan supaya kumis dibuatkan Undang-undangnya. Isinya antara lain wajib hukumnya para laki-laki memelihara kumis, dan melarang semua laki-laki memelihara janggut. Selain itu, juga diusulkan agar semua laki-laki dan perempuan segera mencabut melalui operasi jika ada tahi lalat yang tumbuh, terutama di sekitar wajah.
Banyak menteri yang setuju dengan usul tersebut, tetapi raja tidak setuju, karena ternyata permaisurinya punya tahi lalat di sekitar dada dan sang permaisuri memang lebih suka memakai baju dengan dada agak terbuka.

Negeri Janggut

Kondisi serupa juga terjadi di Negeri Janggut. Penduduk di negeri tersebut sangat memuja janggut dan menganggap janggut adalah segalanya. Maka penduduk laki-laki pun berlomba-lomba memelihar janggut sebagus mungkin.
Ada orang yang janggutnya pendek, ada yang janggutnya panjang, ada yang janggutnya dikuncir, serta bermacam-macam model janggut lainnya.
Penduduk Negeri Janggut sangat membenci kumis. Para laki-laki dewasa setiap hari mencukur kumisnya. Setiap ada turis atau pendatang dari negeri lain yang berkumis, mereka langsung menganjurkan agar kumis tersebut dicukur, karena tidak sesuai dengan adat kebiasaan, tidak sesuai dengan seni, dan tidak sesuai dengan budaya di Negeri Janggut.
Penduduk Negeri Janggut juga membenci tahi lalat, apalagi kalau tahi lalat itu tumbuh di sekitar wajah. Kalau tahi lalat itu muncul di bagian tubuh selain wajah, biasanya dibiarkan saja saja atau ditutupi dengan sesuatu, tetapi kalau tahi lalat itu tumbuh di wajah, maka tahi lalat itu langsung dicabut melalui operasi yang memang digratiskan di Negeri Janggut.
Kalau ada orang yang "melanggar" kebiasaan itu, biasanya orang itu akan mendapat berbagai masalah, antara lain dikucilkan dan sulit menduduki jabatan tinggi di kerajaan atau di tempat kerja mereka.
Orang yang memelihara kumis akan dicap sebagai pemabuk, pengguna ganja, pengguna obat-obat terlarang, dan berbagai macam cap lainnya. Laki-laki yang memelihara tahi lalat akan disebut bencong alias banci.
Saking pentingnya janggut untuk menjaga kultur dan jati diri Negeri Janggut, sampai-sampai ada menteri yang mengusulkan supaya janggut dibuatkan Undang-undangnya. Isinya antara lain wajib hukumnya para laki-laki memelihara janggut, dan melarang semua laki-laki memelihara kumis.
Selain itu, juga diusulkan agar semua laki-laki dan perempuan segera mencabut melalui operasi jika ada tahi lalat yang tumbuh, terutama di sekitar wajah.
Banyak menteri yang setuju dengan usul tersebut, tetapi raja tidak setuju, karena ternyata permaisurinya punya tahi lalat di sekitar telinga, sedangkan salah seorang anak perempuannya punya tahi lalat di bagian leher. Untungnya kedua wanita itu berjilbab, sehingga tahi lalat mereka jarang dilihat orang.

Negeri Tahi Lalat

Negeri Tahi Lalat lain lagi kondisinya. Semua laki-laki di negeri itu tidak ada yang berkumis dan atau berjanggut. Para laki-laki umumnya berwajah "bersih", karena tidak memelihara kumis, tidak punya janggut, dan tidak banyak yang punya tahi lalat di wajah.
Wanita di Negeri Tahi Lalat selalu berdoa agar mereka dikarunia tahi lalat di wajah. Wanita yang hamil hampir setiap hari berdoa, agar anaknya nanti lahir dengan tahi lalat di wajah.
Penduduk Negeri Tahi Lalat sangat membenci kumis dan janggut. Para laki-laki dewasa setiap hari mencukur kumis dan janggutnya.
Setiap ada turis atau pendatang dari negeri lain yang berkumis dan atau berjanggut, mereka langsung menganjurkan agar kumis dan atau janggut tersebut dicukur, karena tidak sesuai dengan adat kebiasaan, tidak sesuai dengan seni, dan tidak sesuai dengan budaya di Negeri Tahi Lalat.
Kalau ada orang yang memelihara kumis dan atau janggut, biasanya orang itu akan mendapat berbagai masalah, antara lain dikucilkan dan sulit menduduki jabatan tinggi di kerajaan atau di tempat kerja mereka.
Orang yang memelihara kumis akan dicap sebagai pemabuk, pengguna ganja, pengguna obat-obat terlarang, dan berbagai macam cap lainnya.
Orang yang memelihara janggut disebut kambing dan sok alim, sedangkan orang yang memelihara kumis dan janggut dicap sebagai pemabuk yang sok alim.
Saking pentingnya tahi lalat untuk menjaga kultur dan jati diri Negeri Janggut, sampai-sampai ada menteri yang mengusulkan supaya tahi lalat dibuatkan Undang-undangnya. Isinya antara lain laki-laki maupun perempuan dianggap terhormat kalau punya tahi lalat, serta mendapat berbagai kemudahan.
Sebaliknya, orang yang tidak memiliki tahi lalat apalagi kalau memelihara kumis dan atau janggut, dianggap bukan orang terhormat sehingga tidak pantas diberi tempat terhormat di kerajaan atau pun di tengah masyarakat.
Banyak menteri yang setuju dengan usul tersebut, tetapi raja tidak setuju, karena ternyata permaisuri dan putri bungsunya tidak punya tahi lalat. Untunglah putra mahkota punya tahi lalat di lengan kanannya.

Saling Memaafkan

Begitulah. Tiga negeri bertetangga itu saling membenci satu sama lain. Mereka tidak pernah saling mengunjungi, kecuali kalau ada urusan penting.
Batas wilayah negeri mereka dipagari dengan tembok raksasa. Penduduk dari negeri lain harus membayar pajak kalau ingin berkunjung dan hanya boleh masuk melalui pintu gerbang kerajaan.
Anehnya, setiap memasuki bulan Ramadan, raja dari ketiga kerajaan itu saling mengirimi surat yang isinya mengucapkan selamat melaksanakan ibadah puasa. Raja dari ketiga kerajaan itu juga saling mengirimi surat pada setiap hari raya yang isinya mengucapkan selamat Hari Raya dan mohon dimaafkan lahir batin.

Makassar, 8 September 2007

copyright@pedoman rakyat
makassar, 10 September 2007


Tak Ada yang Salah, Tak Ada yang Benar


Oleh: Asnawin
email:
asnawin@hotmail.om

Agus dan Iwan duduk satu bangku di kelas satu hingga kelas dua SMP di sebuah kabupaten. Meski sebangku dan sepermainan, ada perbedaan di antara dua bocah belasan tahun itu.
Agus agak serius, rajin membaca, dan suka ke masjid. Iwan agak santai, hanya membaca yang disukai, dan jarang ke masjid.
Kalau guru menerangkan pelajaran di kelas, Agus mengikuti dengan seksama, sedangkan Iwan lebih banyak bermain-main. Bukunya pun tak pernah lengkap, baik buku tulis, maupun buku cetak.
Anehnya, Iwan selalu juara kelas dan dengan mudahnya menjawab secara benar jika guru menanyakan sesuatu, sebaliknya Agus tidak pernah juara kelas dan kerap gagap bila menjawab pertanyaan guru.
Di luar sekolah, Agus dan Iwan adalah dua bocah bahagia. Mereka sepermainan meski rumah mereka berjarak kurang lebih satu kilometer. Agus sering bermain dan belajar di rumah Iwan, karena kebetulan Iwan punya kamar sendiri dan orangtuanya cukup berada.
Pada semester genap kelas dua SMP, Iwan dipindahkan ke sekolah di
ibukota provinsi. Sejak saat itu, mereka tidak pernah lagi berkomunikasi, apalagi bertemu.
Mereka baru bertemu kembali 26 tahun kemudian, saat keduanya berusia 40 tahun.
Agus sudah punya empat anak, sedangkan Iwan punya tiga anak. Agus bekerja pada sebuah perusahaan swasta di ibukota provinsi, sedangkan Iwan sudah empat kali meninggalkan perusahaan tempatnya bekerja dan kemudian membangun tiga perusahaan yang cukup sukses di ibukota negara.
Agus hanya berijazah sarjana, sedangkan Iwan magister lulusan perguruan tinggi ternama di luar negeri.
Keduanya bertemu di sebuah warung kopi. Setelah berjabat tangan dan berpelukan, mereka pun larut dalam obrolan yang dipenuhi suasana reuni.
Pilihan-pilihan

Sekitar pukul 14.00 waktu setempat, Iwan mengajak Agus makan siang di sebuah plasa. Mereka tak pernah berhenti ngobrol, mulai dari masa-masa mereka bersama-sama di kampung, masalah pekerjaan, masalah keluarga, pemilihan kepala daerah (Pilkada), hingga prinsip hidup.
''Dalam hidup ini, tidak ada yang salah, dan tidak ada yang benar,'' kata Iwan.
Yang penting, kata Iwan, apapun yang kita lakukan, harus disadari konsekuensinya.
Ketika seseorang memilih suatu bidang pekerjaan atau suatu profesi dan sukses dalam melakoni pekerjaan atau profesinya, maka orang itu tidak boleh mengatakan pilihannya itulah yang paling benar, sedangkan orang lain yang tidak sukses dalam pekerjaan atau profesi lain, dianggap salah.
Begitu juga kalau seseorang masuk dalam salah satu organisasi, maka ia tidak boleh mengatakan diri dan organisasinyalah yang benar, sedangkan orang lain dan organisasi lain salah.
''Agama juga sebenarnya tidak mengajarkan benar dan salah, tetapi Tuhan memberikan kepada kita pilihan-pilihan,'' ujar Iwan.
Dalam menentukan pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur yang akan dipilih pada Pilkada, siapa pun berhak memilih pasangan manapun. Tidak boleh ada yang mengatakan bahwa pilihannya yang benar, sedangkan pilihan orang lain salah.
''Yang penting, kita harus tahu siapa yang akan dipilih dan bertanggungjawab sesudahnya,'' kata Iwan.
Sebelum menentukan pilihan, seseorang harus mengenal para cagub dan cawagub, sehingga bisa menanggung risiko atau konsekuensi terhadap apapun yang akan terjadi setelah gubernur dan wagub pilihannya kelak menjalankan pemerintahan.
''Tetapi bagaimana caranya bertanggungjawab, kalau kemudian gubernur dan wagub pilihan kita ternyata tidak becus dalam menjalankan pemerintahan?'' tanya Agus.
''Jangan pilih lagi pada Pilkada berikutnya,'' jawab Iwan.

Makassar, 2 September 2007

copyright@Pedoman Rakyat
Makassar, 4 September 2007