30 Desember 2007

Tugas Berat Pengurus Baru KNPI Sulsel

Tugas Berat Pengurus Baru KNPI Sulsel
(Renungan Bagi Peserta Musda)

Oleh: Asnawin

Sudah banyak yang tahu bahwa Komite Nasional PemudaIndonesia (KNPI) adalah wadah berhimpun Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP) dan potensi pemuda lainnya.
Itulah sebabnya pengurus KNPI diharapkan dan seharusnya merupakan wakil-wakil dari seluruh OKP yang ada pada tingkatan masing-masing. Misalnya Dewan Pimpinan Pusat (DPP) KNPI, pengurusnya seharusnya terdiri atas masing-masing satu orang perwakilan dari setiap OKP tingkat nasional ditambah potensi pemuda lainnya yang tidak terhimpun di OKP.
Begitupun dengan pengurus Dewan Pimpinan Daerah (DPD) I KNPI, pengurusnya tentu berasal dari OKP dan potensi pemuda lainnya di tingkat provinsi.
Kenyataannya, pengurus KNPI selalu didominasi kader dari salah satu partai politik tertentu dan secara tidak langsung menjadi salah satu “tangan” pemerintah.
Tak heran kalau KNPI selalu dipimpin atau diketuai oleh kader parpol tertentu yang dekat dengan kekuasaan. Ketua KNPI pada masa lalu adalah “orang titipan” yang telah mendapat restu dari tiga jalur, yakni jalur “ABG” alias ABRI, Birokrat, dan Golkar.
Kalau bukan“orang titipan”, apalagi tidak mendapat restu dari jalur “ABG”, jangan harap bisa menjadi Ketua Umum KNPI. Karena dia “orang titipan”, maka Ketua KNPI biasanya akan mendapat tempat yang layak, baik di pemerintahan maupun di dewan (DPR RI/DPRD).
Ketua KNPI juga akan mendapat tempat khusus pada setiap upacara atau peringatan hari-hari besar nasional.
Di era sekarang, KNPI sudah memiliki paradigma baru dan tidak lagi merupakan “tangan” penguasa. Ketua KNPI tidak lagi harus mendapat restu dari “ABG”. Otomatis ketua dan pengurus KNPI di era sekarang tidak lagi menjadi “anak emas”.
Ketua dan pengurus KNPI tidak lagi bisa seperti anak bayi yang jika menangis bisa langsung diberi air susu supaya kenyang dan diam.
Meskipun kondisinya berbeda, sebenarnya ada persamaan antara pengurus KNPI era masa lalu dengan pengurus KNPI era sekarang, yaitu sama-sama melupakan atau lupa mensosialisasikan keberadaan KNPI ke tengah masyarakat.
Pengurus KNPI sejak dulu hingga sekarang lupa atau mungkin tidak tahu bagaimana mensosialisasikan keberadaan, fungsi, dan peran KNPI kepada para pelajar, mahasiswa, pegawai negeri, profesional, dan kepada masyarakat umum.
Kalaupun dilakukan, pastilah tidak maksimal. Dalam banyak kesempatan, kerap terdengar orang bertanya; “Apa itu KNPI?”
Pertanyaan itu seharusnya tidak perlu muncul atau terlontar kalau pengurus KNPI berhasil melakukan sosialisasi. Kalau pertanyaan itu muncul dari masyarakat awam, mungkin masih agak bisa dimaklumi, tetapi ternyata mantan aktivis mahasiswa pun masih ada yang tidak mengenal KNPI dan bertanya; “Apa itu KNPI?”
Apa sajakah yang dilakukan oleh para pengurus KNPI sejak didirikan para 23 Juli 1973 hingga pengurus era milenium sekarang ini? Apakah para pengurus hanya sibuk dengan urusan politik praktis dan lain-lain yang tidak ada hubungannya dengan masyarakat? Apakah para pengurus memang tidak merasa sebagai wakil masyarakat melalui OKP dan potensi pemuda lainnya?
Sebagai pengurus KNPI Sulsel periode 2004-2007, penulis juga sebenarnya malu dan ikut merasa bertanggungjawab atas kegagalan mensosialisasikan “makhluk” bernama KNPI itu kepada masyarakat.
Tetapi, secara pribadi penulis sudah berupaya melakukannya, baik melalui tulisan di media massa (cetak dan elektronik, termasuk di internet) maupun lewat berbagai kesempatan dalam kapasitas sebagai pengurus beberapa organisasi dan sebagai bagian dari anggota masyarakat.
Lewat berbagai berbagai upaya itulah, penulis tahu dan merasa malu sendiri bahwa ternyata masih banyak pelajar, mahasiswa, guru, pegawai negeri, pegawai swasta, wiraswasta, profesional, dan masyarakat umum yang tidak mengenal KNPI dan bertanya; “Apa itu KNPI?”
Kepada para calon ketua dan calon pengurus KNPI Sulsel periode 2007-2010 yang sedang mengikuti Musyawarah Daerah Pemuda/KNPI Sulsel di Hotel Singgasana, Makassar, 16-18 Desember 2007, penulis yang bakal “pensiun” karena faktor usia dan “tahu diri” (meminjam istilah HZB Palaguna, “is al”, issengi alemu), mohon izin menitipkan beberapa pesan.
Sebelum menjadi pengurus, bulatkanlah tekad untuk meluangkan waktu mengurus dan berhimpun di KNPI. Tak ada gunanya pintar, hebat, kaya, dan punya jaringan luas, kalau tidak ada waktu atau tidak bisa meluangkan waktu mengurus KNPI.
Ketua dan pengurus baru nanti, juga diharapkan menjadi “sahabat” Pemerintah Provinsi Sulsel. Sahabat yang tidak hanya pandai memuji atau menganggukkan kepala, tetapi juga mampu menunjukkan kesalahan sahabatnya (Pemprov), sekaligus bisa memberikan solusi atau jalan keluarnya.
Artinya, keberadaan KNPI Sulsel diharapkan tidak menjadi beban bagi Pemprov Sulsel, tetapi menjadi mitra yang produktif dalam mengatasi masalah-masalah yang dihadapi Pemprov Sulsel.
Selanjutnya, ketua dan pengurus KNPI Sulsel ke depan diharapkan membuat program yang berpihak kepada kepentingan rakyat banyak. Pengurus KNPI diharapkan memilki kepedulian dan mampu ikut menjawab masalah-masalah yang kini mendera rakyat seperti : kemiskinan, kelaparan, rendahnya kualitas dan mahalnya biaya pendidikan, penganguran, mahalnya ongkos pengobatan dan harga obat-obatan, dan lain sebagainya.
Dalam rangka sosialisasi, pengurus KNPI Sulsel perlu membuat semacam program KNPI masuk ke sekolah atau KNPI masuk ke kampus, serta melibatkan pelajar dan mahasiswa dalam berbagai kegiatannya.
Dalam hal ini, KNPI bisa menjadi mediator atau fasilitator bagi sejumlah OKP yang berbasis pelajar dan mahasiswa. Ingat, pelajar dan mahasiswa adalah calon-calon pengurus KNPI yang sangat potensial dan generasi muda terpelajar calon pemimpin bangsa.

Libido Politik

KNPI memang tidak bisa dihindari sebagai “laboratorium kader”, sehingga banyak pengurus yang menjadikannya sebagai “ajang karier” politik. Juga tak perlu heran kalau di KNPI banyak trik dan intrik. Itu sah-sah saja dilakukan dan memang perlu terjadi di KNPI.
Politik boleh dilakukan oleh siapa, di mana, dan kapan saja, karena politik bukan milik siapa-siapa. Politik milik semua orang, milik kita semua. Entitas politik bisa muncul dari sekolah, kampus, pasar, mushalla, sanggar seni, tempat cukur, apalagi diwarung kopi.
Pemuda yang berhimpun di KNPI tidak boleh dilarang dan bahkan sebaiknya menjadikan KNPI sebagai “ajang karier” politik dan lain-lain.
Pemuda yang berhimpun di KNPI juga harus punya mimpi dan menggantungkan cita-cita untuk meniti karier atau meraih kesuksesan lebih tinggi. Tetapi tolong jangan lupakan paradigma barunya, tolong jangan abaikan kepentingan rakyat banyak, dan tolong lakukan sosialisasi agar jumlah orang yang bertanya; “Apa itu KNPI?” menjadi semakin berkurang.
Selamat bermusyawarah! (penulis adalah pengurus KNPI Sulsel 2004-2007)

(tulisan ini dimuat di harian Fajar, Makassar, Senin, 17 Desember 2007)

05 Oktober 2007

Ternyata


"Dengkuran itu menandakan adanya penyumbatan di saluran pernapasan saat seseorang sedang tidur. Suara dengkuran berasal dari usaha udara untuk melewati saluran yang menyempit itu. Banyak penyebab orang mendengkur dan percayalah Anda tidak sendiri. Menurut data yang layak dipercaya, mendengkur diderita oleh satu dari lima orang dewasa. Dan jangan bilang-bilang ya, saya juga pendengkur, tetapi suami saya bilang, bunyi dengkur saya agak seksi," papar sang dokter.

23 September 2007

Sungguh Terlalu!



Dengan berbagai bentuk penipuan itu, akhirnya banyak pengunjung yang terkecoh sehingga ada beberapa kejadian lucu. Ada pengunjung yang tersenyum-senyum, ada pengunjung yang mengejek penjaga toko, ada pengunjung yang mengumpat, dan ada juga pengunjung yang batal membayar pakaian yang sudah dipilih, karena ternyata harganya tidak sesuai yang disangka sebelumnya.


17 September 2007

Puisi Buat Si Polan


Oleh : Asnawin
email : asnawin@hotmail.com

Abunawas kaget mendengar berita tentang dijatuhkannya vonis dua tahun penjara kepada Si Polan. Abunawas kaget karena Si Polan baru dua hari lalu dilantik sebagai anggota parlemen pengganti artarwaktu.
Nalurinya sebagai seniman langsung bekerja. Abunawas ingin membuat puisi buat Si Polan. Ia pun segera mengumpulkan serpihan ingatannya tentang Si Polan. Maka meluncurlah beberapa bait.

Ketika masih kuliah
Si Polan....
Biasa-biasa saja

Ketika masih kuliah
Si Polan....
Tidak terlalu dikenal

Ketika masih kuliah
Si Polan....
Bukan mahasiswa berprestasi

Ketika masih kuliah
Si Polan....
Bukanlah siapa-siapa

Abunawas kembali membuka memorinya tentang Si Polan. Belasan tahun lalu, ia berkenalan dengan Si Polan dan ingatannya pun kembali.

Setelah meraih gelar sarjana
Si Polan....
Menjadi pegawai negeri sipil

Setelah meraih gelar sarjana
Si Polan....
Aktif berorganisasi

Setelah meraih sarjana
Si Polan....
Memimpin sebuah perusahaan

Setelah meraih gelar sarjana
Si Polan....
Menjadi terkenal

Abunawas tidak pernah akrab dengan Si Polan, karena dirinya bukanlah siapa-siapa di mata Si Polan. Abunawas hanya seorang seniman yang penghasilan dan hidupnya pas-pasan. Abunawas kemudian melanjutkan puisinya.

Si Polan muncul
Sebagai wakil dari generasi muda
Yang cukup menonjol

Si Polan dianggap sukses
Mengelola dan membesarkan
Perusahaan titipan banyak orang

Si Polan pun dianggap sukses
Memimpin
Sebuah organisasi kepemudaan

Si Polan kemudian
Memimpin
Sebuah organisasi olahraga

Si Polan berhasil
Mengangkat prestasi
Tim olahraga yang dipimpinnya

Si Polan menjadi publik figur
Kemudian
Terpilih menjadi anggota parlemen

Si Polan lalu muncul
Sebagai orang yang berkiprah
Di Ibukota Negara

Abunawas cukup bangga karena orang sekampungnya berhasil meniti karir dan meraih prestasi di tingkat nasional. Tidak banyak orang sekampungnya yang mampu menonjol di tingkat nasional.

Di tingkat nasional
Si Polan lagi-lagi
Mendapat kepercayaan

Di tingkat nasional
Si Polan terpilih memimpin
Perusahaan milik orang banyak

Di tingkat nasional
Si Polan terpilih memimpin
Organisasi olahraga

Kebanggaan Abunawas kepada Si Polan makin bertambah, karena orang sekampungnya itu kemudian menjadi buah bibir, berkat berbagai prestasi yang diukirnya.

Nama Si Polan melambung
Nama Si Polan terkenal
Nama Si Polan menjadi buah bibir

Yang membuat Abunawas senang dan terharu, karena dirinya tak pernah mendengar cerita miring tentang Si Polan. Tak ada cerita tentang perselingkuhan, ekstasi, narkoba, dan kehidupan malam.

Tapi, Si Polan biasa-biasa saja
Tapi, Si Polan tetap tampil sederhana
Tapi, Si Polan tetap rajin beribadah

Si Polan kaya raya
Si Polan punya kedudukan
Si Polan tetap Si Polan

Banyak orang
Yang....
Memuji Si Polan

Banyak orang
Yang....
Bergantung kepada Si Polan

Banyak orang
Yang....
Memanfaatkan Si Polan

Itulah sebabnya Abunawas kaget luar biasa setelah mendengar berita tentang vonis penjara dua tahun ditambah denda puluhan juta rupiah kepada Si Polan.

Tiba-tiba...
Si Polan tersandung
Dan jatuh

Tiba-tiba...
Si Polan terjerat
Kasus korupsi

Tiba-tiba...
Si Polan sakit
Dan mendapat perawatan

Kemudian...
Si Polan diadili
Dan masuk bui

Kemudian...
Nama Si Polan
Rusak

Kemudian...
Nama Si Polan
Hancur

Banyak orang yang kaget
Banyak orang yang heran
Banyak orang yang bertanya-tanya

Abunawas masih tidak percaya. Bernarkah Si Polan seorang koruptor. Ia ragu, tetapi bagaimana pun, putusan pengadilan tidak bisa ditampik begitu saja.

Benarkah Benarkah...
Si Polan...
Korupsi...?

Benarkah...
Si Polan...
Jahat...?

Benarkah...
Si Polan...
Pendusta...?

Jawablah Polan!
Benarkah semua itu?
Benarkah mereka?

Jawablah Polan!
Benarkah kamu korupsi?
Benarkah kamu jahat?

Jawablah Polan!
Benarkah kamu pendusta?
Benarkah kamu pembohong?

Kekaguman Abunawas terhadap Si Polan masih ada. Abunawas tidak rela kalau kekagumannya itu luntur dan hilang, hanya karena Si Polan divonis penjara.

Dulu.....
Aku.....
Mengagumimu

Dulu.....
Aku.....
Menyayangimu

Dulu.....
Aku.....
Mencintaimu

Aku ingin
Tetap....
Mengagumimu

Aku ingin
Tetap....
Menyayangimu

Aku ingin
Tetap....
Mencintaimu

Abunawas merasa puisinya sudah cukup, tetapi judulnya belum ada. Ia penasaran dan juga ada rasa kesal. Maka dengan mantap ia memilih judul: "Jawablah Polan!"

Makassar, 16 September 2007

copyright@pedoman rakyat
makassar, 17 september 2007

10 September 2007

Kumis, Janggut, dan Tahi Lalat


Oleh : Asnawin
email : asnawin@hotmail.com

Ada tiga negeri bertetangga yang saling membenci satu sama lain. Negeri pertama bernama Negeri Kumis, negeri kedua bernama Negeri Janggut, dan negeri ketiga bernama Negeri Tahi Lalat.
Di Negeri Kumis, hampir semua laki-laki memiliki kumis dengan bermacam-macam model. Ada yang berkumis tipis, ada yang berkumis sedang, ada yang berkumis tebal, ada yang berkumis panjang, ada yang kumisnya panjang diplintir, dan bermacam-macam model kumis lainnya.
Penduduk Negeri Kumis sangat membenci janggut. Para laki-laki dewasa setiap hari mencukur janggutnya. Setiap ada turis atau pendatang dari negeri lain yang berjanggut, mereka langsung menganjurkan agar janggut tersebut dicukur, karena tidak sesuai dengan adat kebiasaan, tidak sesuai dengan seni, dan tidak sesuai dengan budaya di Negeri Kumis.
Penduduk Negeri Kumis juga membenci tahi lalat, apalagi kalau tahi lalat itu tumbuh di sekitar wajah. Kalau tahi lalat itu muncul di bagian tubuh selain wajah, biasanya dibiarkan saja atau ditutupi dengan sesuatu, tetapi kalau tahi lalat itu tumbuh di wajah, maka tahi lalat itu langsung dicabut melalui operasi yang memang digratiskan di Negeri Kumis.
Kalau ada orang yang "melanggar" kebiasaan itu, biasanya orang itu akan mendapat berbagai masalah, antara lain dikucilkan dan sulit menduduki jabatan tinggi di kerajaan atau di tempat kerja mereka.
Orang yang memelihara janggut akan diberi sebutan kambing dan dianggap sok alim, sedangkan laki-laki yang memelihara tahi lalat akan disebut bencong alias banci.
Saking pentingnya kumis untuk menjaga kultur dan jati diri Negeri Kumis, sampai-sampai ada menteri yang mengusulkan supaya kumis dibuatkan Undang-undangnya. Isinya antara lain wajib hukumnya para laki-laki memelihara kumis, dan melarang semua laki-laki memelihara janggut. Selain itu, juga diusulkan agar semua laki-laki dan perempuan segera mencabut melalui operasi jika ada tahi lalat yang tumbuh, terutama di sekitar wajah.
Banyak menteri yang setuju dengan usul tersebut, tetapi raja tidak setuju, karena ternyata permaisurinya punya tahi lalat di sekitar dada dan sang permaisuri memang lebih suka memakai baju dengan dada agak terbuka.

Negeri Janggut

Kondisi serupa juga terjadi di Negeri Janggut. Penduduk di negeri tersebut sangat memuja janggut dan menganggap janggut adalah segalanya. Maka penduduk laki-laki pun berlomba-lomba memelihar janggut sebagus mungkin.
Ada orang yang janggutnya pendek, ada yang janggutnya panjang, ada yang janggutnya dikuncir, serta bermacam-macam model janggut lainnya.
Penduduk Negeri Janggut sangat membenci kumis. Para laki-laki dewasa setiap hari mencukur kumisnya. Setiap ada turis atau pendatang dari negeri lain yang berkumis, mereka langsung menganjurkan agar kumis tersebut dicukur, karena tidak sesuai dengan adat kebiasaan, tidak sesuai dengan seni, dan tidak sesuai dengan budaya di Negeri Janggut.
Penduduk Negeri Janggut juga membenci tahi lalat, apalagi kalau tahi lalat itu tumbuh di sekitar wajah. Kalau tahi lalat itu muncul di bagian tubuh selain wajah, biasanya dibiarkan saja saja atau ditutupi dengan sesuatu, tetapi kalau tahi lalat itu tumbuh di wajah, maka tahi lalat itu langsung dicabut melalui operasi yang memang digratiskan di Negeri Janggut.
Kalau ada orang yang "melanggar" kebiasaan itu, biasanya orang itu akan mendapat berbagai masalah, antara lain dikucilkan dan sulit menduduki jabatan tinggi di kerajaan atau di tempat kerja mereka.
Orang yang memelihara kumis akan dicap sebagai pemabuk, pengguna ganja, pengguna obat-obat terlarang, dan berbagai macam cap lainnya. Laki-laki yang memelihara tahi lalat akan disebut bencong alias banci.
Saking pentingnya janggut untuk menjaga kultur dan jati diri Negeri Janggut, sampai-sampai ada menteri yang mengusulkan supaya janggut dibuatkan Undang-undangnya. Isinya antara lain wajib hukumnya para laki-laki memelihara janggut, dan melarang semua laki-laki memelihara kumis.
Selain itu, juga diusulkan agar semua laki-laki dan perempuan segera mencabut melalui operasi jika ada tahi lalat yang tumbuh, terutama di sekitar wajah.
Banyak menteri yang setuju dengan usul tersebut, tetapi raja tidak setuju, karena ternyata permaisurinya punya tahi lalat di sekitar telinga, sedangkan salah seorang anak perempuannya punya tahi lalat di bagian leher. Untungnya kedua wanita itu berjilbab, sehingga tahi lalat mereka jarang dilihat orang.

Negeri Tahi Lalat

Negeri Tahi Lalat lain lagi kondisinya. Semua laki-laki di negeri itu tidak ada yang berkumis dan atau berjanggut. Para laki-laki umumnya berwajah "bersih", karena tidak memelihara kumis, tidak punya janggut, dan tidak banyak yang punya tahi lalat di wajah.
Wanita di Negeri Tahi Lalat selalu berdoa agar mereka dikarunia tahi lalat di wajah. Wanita yang hamil hampir setiap hari berdoa, agar anaknya nanti lahir dengan tahi lalat di wajah.
Penduduk Negeri Tahi Lalat sangat membenci kumis dan janggut. Para laki-laki dewasa setiap hari mencukur kumis dan janggutnya.
Setiap ada turis atau pendatang dari negeri lain yang berkumis dan atau berjanggut, mereka langsung menganjurkan agar kumis dan atau janggut tersebut dicukur, karena tidak sesuai dengan adat kebiasaan, tidak sesuai dengan seni, dan tidak sesuai dengan budaya di Negeri Tahi Lalat.
Kalau ada orang yang memelihara kumis dan atau janggut, biasanya orang itu akan mendapat berbagai masalah, antara lain dikucilkan dan sulit menduduki jabatan tinggi di kerajaan atau di tempat kerja mereka.
Orang yang memelihara kumis akan dicap sebagai pemabuk, pengguna ganja, pengguna obat-obat terlarang, dan berbagai macam cap lainnya.
Orang yang memelihara janggut disebut kambing dan sok alim, sedangkan orang yang memelihara kumis dan janggut dicap sebagai pemabuk yang sok alim.
Saking pentingnya tahi lalat untuk menjaga kultur dan jati diri Negeri Janggut, sampai-sampai ada menteri yang mengusulkan supaya tahi lalat dibuatkan Undang-undangnya. Isinya antara lain laki-laki maupun perempuan dianggap terhormat kalau punya tahi lalat, serta mendapat berbagai kemudahan.
Sebaliknya, orang yang tidak memiliki tahi lalat apalagi kalau memelihara kumis dan atau janggut, dianggap bukan orang terhormat sehingga tidak pantas diberi tempat terhormat di kerajaan atau pun di tengah masyarakat.
Banyak menteri yang setuju dengan usul tersebut, tetapi raja tidak setuju, karena ternyata permaisuri dan putri bungsunya tidak punya tahi lalat. Untunglah putra mahkota punya tahi lalat di lengan kanannya.

Saling Memaafkan

Begitulah. Tiga negeri bertetangga itu saling membenci satu sama lain. Mereka tidak pernah saling mengunjungi, kecuali kalau ada urusan penting.
Batas wilayah negeri mereka dipagari dengan tembok raksasa. Penduduk dari negeri lain harus membayar pajak kalau ingin berkunjung dan hanya boleh masuk melalui pintu gerbang kerajaan.
Anehnya, setiap memasuki bulan Ramadan, raja dari ketiga kerajaan itu saling mengirimi surat yang isinya mengucapkan selamat melaksanakan ibadah puasa. Raja dari ketiga kerajaan itu juga saling mengirimi surat pada setiap hari raya yang isinya mengucapkan selamat Hari Raya dan mohon dimaafkan lahir batin.

Makassar, 8 September 2007

copyright@pedoman rakyat
makassar, 10 September 2007


Tak Ada yang Salah, Tak Ada yang Benar


Oleh: Asnawin
email:
asnawin@hotmail.om

Agus dan Iwan duduk satu bangku di kelas satu hingga kelas dua SMP di sebuah kabupaten. Meski sebangku dan sepermainan, ada perbedaan di antara dua bocah belasan tahun itu.
Agus agak serius, rajin membaca, dan suka ke masjid. Iwan agak santai, hanya membaca yang disukai, dan jarang ke masjid.
Kalau guru menerangkan pelajaran di kelas, Agus mengikuti dengan seksama, sedangkan Iwan lebih banyak bermain-main. Bukunya pun tak pernah lengkap, baik buku tulis, maupun buku cetak.
Anehnya, Iwan selalu juara kelas dan dengan mudahnya menjawab secara benar jika guru menanyakan sesuatu, sebaliknya Agus tidak pernah juara kelas dan kerap gagap bila menjawab pertanyaan guru.
Di luar sekolah, Agus dan Iwan adalah dua bocah bahagia. Mereka sepermainan meski rumah mereka berjarak kurang lebih satu kilometer. Agus sering bermain dan belajar di rumah Iwan, karena kebetulan Iwan punya kamar sendiri dan orangtuanya cukup berada.
Pada semester genap kelas dua SMP, Iwan dipindahkan ke sekolah di
ibukota provinsi. Sejak saat itu, mereka tidak pernah lagi berkomunikasi, apalagi bertemu.
Mereka baru bertemu kembali 26 tahun kemudian, saat keduanya berusia 40 tahun.
Agus sudah punya empat anak, sedangkan Iwan punya tiga anak. Agus bekerja pada sebuah perusahaan swasta di ibukota provinsi, sedangkan Iwan sudah empat kali meninggalkan perusahaan tempatnya bekerja dan kemudian membangun tiga perusahaan yang cukup sukses di ibukota negara.
Agus hanya berijazah sarjana, sedangkan Iwan magister lulusan perguruan tinggi ternama di luar negeri.
Keduanya bertemu di sebuah warung kopi. Setelah berjabat tangan dan berpelukan, mereka pun larut dalam obrolan yang dipenuhi suasana reuni.
Pilihan-pilihan

Sekitar pukul 14.00 waktu setempat, Iwan mengajak Agus makan siang di sebuah plasa. Mereka tak pernah berhenti ngobrol, mulai dari masa-masa mereka bersama-sama di kampung, masalah pekerjaan, masalah keluarga, pemilihan kepala daerah (Pilkada), hingga prinsip hidup.
''Dalam hidup ini, tidak ada yang salah, dan tidak ada yang benar,'' kata Iwan.
Yang penting, kata Iwan, apapun yang kita lakukan, harus disadari konsekuensinya.
Ketika seseorang memilih suatu bidang pekerjaan atau suatu profesi dan sukses dalam melakoni pekerjaan atau profesinya, maka orang itu tidak boleh mengatakan pilihannya itulah yang paling benar, sedangkan orang lain yang tidak sukses dalam pekerjaan atau profesi lain, dianggap salah.
Begitu juga kalau seseorang masuk dalam salah satu organisasi, maka ia tidak boleh mengatakan diri dan organisasinyalah yang benar, sedangkan orang lain dan organisasi lain salah.
''Agama juga sebenarnya tidak mengajarkan benar dan salah, tetapi Tuhan memberikan kepada kita pilihan-pilihan,'' ujar Iwan.
Dalam menentukan pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur yang akan dipilih pada Pilkada, siapa pun berhak memilih pasangan manapun. Tidak boleh ada yang mengatakan bahwa pilihannya yang benar, sedangkan pilihan orang lain salah.
''Yang penting, kita harus tahu siapa yang akan dipilih dan bertanggungjawab sesudahnya,'' kata Iwan.
Sebelum menentukan pilihan, seseorang harus mengenal para cagub dan cawagub, sehingga bisa menanggung risiko atau konsekuensi terhadap apapun yang akan terjadi setelah gubernur dan wagub pilihannya kelak menjalankan pemerintahan.
''Tetapi bagaimana caranya bertanggungjawab, kalau kemudian gubernur dan wagub pilihan kita ternyata tidak becus dalam menjalankan pemerintahan?'' tanya Agus.
''Jangan pilih lagi pada Pilkada berikutnya,'' jawab Iwan.

Makassar, 2 September 2007

copyright@Pedoman Rakyat
Makassar, 4 September 2007



28 Agustus 2007

Pesta Rakyat dan Pesta Penguasa



Daeng Tompo yang purnawirawan tentara berpangkat Letnan, tiba-tiba sedih. Air matanya meleleh. Dia sedih dan merasa berdosa, karena anak-anak dan generasi muda sekarang banyak yang larut dalam kegembiraan, tetapi tidak tahu makna di balik peringatan kemerdekaan itu. Daeng Tompo merasa berdosa karena gagal menyampaikan pesan-pesan dan semangat perjuangan kemerdekaan kepada anak-anak dan cucu-cucunya. (int)

21 Agustus 2007

Proklamasi dan Pahlawan Tanpa Tanda Jasa


PROFESI guru ketika itu masih cukup dihormati.
Mereka dipanggil dengan sebutan 'Tuan Guru'. Mereka selalu diundang hadir kalau ada acara keagamaan, pesta perkawinan, dan acara adat. Mereka sering dimintai pertimbangan kalau ada masalah-masalah sosial kemasyarakatan.

13 Agustus 2007

Ironi Mengejar Kekuasaan



Suatu hari raja sakit dan tak lama kemudian mangkat. Rakyat pun berduka. Empat puluh hari berselang, para menteri dan hulubalang sibuk membicarakan pengganti raja. Kebetulan negeri itu tidak mengenal istilah pewaris tahta, karena raja dipilih oleh rakyat berdasarkan usulan para menteri dan hulubalang. Para menteri dan hulubalang mendatangi Penasehat Raja untuk diminta menjadi raja, tetapi Sang Penasehat tidak bersedia. (int)

05 Agustus 2007

Kampanye dan Propaganda


Tetapi ingat, kandidat yang populer belum tentu dekat dengan masyarakat, karena popularitas itu tergantung bagaimana memanfaatkan media massa, sedangkan kedekatan itu dibangun dengan bersentuhan langsung, terjun, dan bertemu langsung dengan masyarakat. Itu pun bukan hanya sekali dilakukan, tetapi berkali-kali dan harus meninggalkan kesan yang baik.

01 Agustus 2007

Presiden, Aib, dan Sanksi Sosial

Presiden, Aib, dan Sanksi Sosial

Oleh : Asnawin
email: asnawin@hotmail.com

WARUNG kopi di pojok jalan milik seorang keturunan Tionghoa itu, selalu ramai setiap hari. Tetapi Sabtu pagi hingga siang adalah puncaknya. Ada beberapa pejabat, pengusaha, mantan pejabat, serta beberapa orang tua keturunan Tionghoa yang hampir tidak pernah absen pada Sabtu pagi hingga siang.
Mereka selalu ceria bertemu pada hari Sabtu. Bahan obrolan mereka seolah-olah tidak pernah habis.
Pada Sabtu pekan lalu, beberapa di antara 'pengunjung tetap' itu kembali berkumpul. Mereka hanya memakai celana pendek, baju kaos, dan sepatu olahraga. Ada juga di antara mereka yang membawa handuk putih. Rupanya mereka baru saja pulang dari olahraga senam di pinggir pantai.
Seperti biasa, begitu mereka duduk, penjual koran langsung datang menawarkan koran. Mereka pun menyambutnya. Biasanya hanya satu dua orang yang membeli koran dan kemudian dijadikan bahan diskusi.
''Rupa-rupanya Presiden kita sudah marah,'' kata lelaki tua A, yang pemilik toko emas.
''Tetapi wajar juga beliau marah, karena si Fulan sudah keterlaluan membuka aib pribadi Presiden,'' timpal lelaki tua B, yang pengusaha garmen.
''Kalau si Fulan memang berjiwa besar, seharusnya dia tidak begitu,'' ujar lelaki tua C, yang pemilik toko bahan campuran.
Sebagai anggota DPR RI yang sudah dipecat oleh partainya, kata lelaki tua C, si Fulan seharusnya berbesar hati mengundurkan diri dan menerima Surat Keputusan (SK) pengganti antar-waktu yang ditandatangani Presiden.
''Ini malah sebaliknya. Setelah Presiden menandatangani SK penggantian dirinya, si Fulan malah balik membuka aib Presiden. Kalau pun benar Presiden kita itu pernah menikah sebelum masuk Akademi Militer, tidak sepantasnyalah aib itu dibeberkan, apalagi belum tentu benar,'' tutur lelaki tua C.
''Selain itu, ini kan tidak ada hubungannya dengan kepentingan publik. Sampai sekarang juga belum pernah ada perempuan yang mengadukan Presiden kita karena diceraikan atau ditelantarkan misalnya,'' celutuk lelaki tua D, yang pemilik toko olahraga.
Setelah menyeruput susu putihnya, dia melanjutkan ucapannya, bahwa Presiden Indonesia adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.
Sebagai kepala negara, katanya, Presiden adalah simbol resmi negara Indonesia di dunia, sedangkan sebagai kepala pemerintahan, Presiden dibantu oleh menteri-menteri dalam kabinet, memegang kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan sehari-hari.
''Sebagai Presiden dan simbol negara, siapa pun rakyat Indonesia, tidak boleh dan tidak sepantasnya membuka aib apalagi dengan maksud ingin 'menjatuhkan' Presiden,'' paparnya.
''Agama juga melarang kita membuka aib orang lain,'' ujar lelaki tua B, seraya mengulurkan tangannya mengambil bakpao di atas piring dan langsung mengunyahnya.
Lelaki tua A yang sedari tadi diam, mengungkapkan rasa salutnya kepada media massa di AS dan Eropa.
Di Amerika, katanya, saat berkampanye untuk mencalonkan diri kedua kalinya, Presiden Franklin D Roesevelt terjatuh berguling-guling dari
kursi rodanya.
''Besoknya, tidak ada satu pun koran di sana yang menulis kejadian itu. Media massa setempat hanya mengulas pidato Presiden,'' ungkapnya.
Presiden Perancis, Francois Mitterand, pernah diisukan memiliki anak di luar nikah, tetapi media-media yang sudah punya nama dan besar pengaruhnya, tidak ada yang menulis apalagi mengupas tuntas masalah pribadi seperti itu.
''Itu karena media massa di sana sudah dewasa dan menghormati lembaga Presiden. Sebaliknya, media massa akan berlomba-lomba menyoroti kalau Presiden berbohong, korupsi, atau mengeluarkan kebijakan yang merugikan rakyat, negara, atau negara lain,'' papar lelaki tua A.

Sanksi Sosial

Setelah menghabiskan kopi susunya dan meminum sedikit air putih, lelaki tua B menimpali, akan sangat wajar kalau Presiden yang korupsi, yang mengeluarkan kebijakan merugikan rakyat atau negara lain, yang di kemudian hari diketahui ternyata berbohong, serta yang melakukan praktik kolusi dan nepotisme, mendapat sorotan dari media massa dan mendapat sanksi sosial dari masyarakat.
''Sanksi sosial jauh lebih berat dibanding sanksi hukum dan perundang-undangan, karena masyarakat akan menghujat, mencaci, memaki, dan mengutuk. Sulit sekali mengembalikan nama baik kalau masyarakat sudah menjatuhkan sanksi sosial,'' tuturnya.
Setelah berbicara, ia berdiri dan berjalan menuju kasir untuk membayar semua minuman dan kue yang diminum dan dimakan bersama tiga sahabatnya. Setelah itu, mereka meninggalkan warung kopi dan kembali berjalan santai sambil ngobrol menuju rumah masing-masing. Kebetulan rumah mereka memang tidak terlalu berjauhan, karena berada di kawasan pertokoan.

Makassar, 29 Juli 2007

(Dimuat di harian Pedoman Rakyat,
Makassar, Senin, 30 Juli 2007,
rubrik "lanskap", halaman 4)


31 Juli 2007

Area Politik


''Apa masalahnya kalau ulama dan profesor ingin menjadi gubernur?'' tanya sang kakek.
''Masalahnya, pilkada dan jabatan gubernur itu area politik, areanya para politisi, bukan areanya para ulama dan profesor,'' kata Musa Hitam.

'Musim Panen' di Sekolah


Oleh Asnawin
email:
asnawin@hotmail.com

Para dewa dan dewi di Negeri Awan tiba-tiba sibuk membicarakan masalah pendidikan di Bumi Nusantara. Para dewa heran karena rakyat di Bumi Nusantara tak pernah berhenti mengeluh soal pendidikan.
Rakyat mengeluhkan pelaksanaan ujian nasional (UN) yang terlalu dipaksakan, dijadikan penentu kelulusan, dan memaksa siswa belajar untuk lulus dan bukan untuk pintar.
Rakyat mengeluhkan berbagai macam pungutan yang dilakukan pihak sekolah pada proses pendaftaran siswa baru, serta tidak transparannya hasil tes dan pengumuman kelulusan.
Rakyat mengeluhkan adanya 'permainan' dalam pengaturan nilai rapor dan nilai hasil ujian akhir SMP dan SMA.
''Apa sebenarnya yang terjadi di Bumi Nusantara? Mengapa rakyat di sana terus menerus mengeluh soal pendidikan?'' tanya Dewa Hujan.
''Padahal di negeri tetangganya, Bumi Melayu, pendidikan tidak lagi dikeluhkan,'' timpal Dewa Cinta.
''Bukankah dulu Bumi Melayu mendatangkan guru dan dosen dari Bumi Nusantara untuk mengajar di berbagai sekolah dan perguruan tinggi di Bumi Melayu?'' tanya Dewi Kasih Sayang.
''Sekarang orang Bumi Melayu malah lebih pintar dibanding orang Bumi Nusantara,'' kata Dewa Angin.
''Lalu, apa masalahnya sampai pendidikan di Bumi Nusantara lambat kemajuannya, bahkan selalu muncul keluhan seputar pendidikan?'' tanya Dewa Hujan lagi.
Dewa Angin kemudian mengemukakan hasil pengamatannya bahwa pemerintah di Bumi Nusantara tidak serius menangani masalah pendidikan.
Alokasi anggaran pendidikan terlalu kecil, kurikulum kerap berganti-ganti, dan banyak kebijakan yang merepotkan pengelola perguruan tinggi dan sekolah.
Akibat rendahnya anggaran pendidikan, banyak sekolah rusak yang tidak bisa diperbaiki, serta banyak guru yang tidak bisa diikutkan pelatihan, wokshop, penataran, dan sebagainya.
Perguruan tinggi negeri dan sekolah negeri juga berlomba-lomba mencari tambahan dana dari masyarakat untuk memenuhi berbagai kebutuhan.
Dana tersebut antara lain melalui Sumbangan Pembangunan Pendidikan (SPP), sumbangan pembangunan, dan uang pendaftaran mahasiswa atau siswa baru.
Di sekolah masih banyak pungutan lain, seperti uang buku, uang pramuka, uang OSIS, uang LKS (lembaran kerja siswa), uang semester, uang ujian, dan uang perpisahan.
''Tetapi bulan Juli adalah musim panen di sekolah, karena pada saat itulah berlangsung pendaftaran siswa baru,'' papar Dewa Angin.
''Maksudnya?'' tanya Dewa Hujan.
''Pendaftaran siswa baru biasanya dimanfaatkan oleh sekolah untuk mencari uang sebanyak-banyaknya, baik untuk kepentingan sekolah, maupun untuk kepentingan pribadi kepala sekolah dan guru,'' jelas Dewa Angin.
Dia menambahkan bahwa pada pendaftaran siswa baru, sekolah biasanya menetapkan uang pendaftaran, uang seragam sekolah, uang buku, uang bangku, uang pembangunan, dan lain-lain.
Selain itu, kepala sekolah dan guru juga biasanya 'bermain' dalam penentuan kelulusan calon siswa baru.
Akibatnya, para orangtua calon siswa terpaksa mengeluarkan biaya ekstra pada sekitar bulan Juli, baik untuk segala macam biaya dan pungutan dalam proses pendaftaran siswa baru, maupun untuk menyiapkan berbagai perlengkapan sekolah yang baru bagi anak-anaknya yang naik atau tinggal kelas.
''Tapi bagaimana dengan orangtua yang pendapatannya pas-pasan?'' tanya Dewi Cinta.
''Itulah salah satu jawaban mengapa rakyat di Bumi Nusantara terus menerus mengeluh soal pendidikan,'' kata Dewa Angin.

Makassar, 15 Juli 2007

(Dimuat di harian Pedoman Rakyat,
Makassar, Senin, 16 Juli 2007,
rubrik "lanskap", halaman 4)

Kita Belum Merdeka, Kita Masih Terjajah


Oleh Asnawin
email:
asnawin@hotmail.com

  BENARKAH negara Indonesia sudah merdeka? Benarkah rakyat Indonesia sudah merdeka? Benarkah negara Indonesia tidak terjajah lagi? Bernarkah rakyat Indonesia tidak terjajah lagi?
  Pertanyaan ini memang terlalu dini dibicarakan, karena 17 Agustus masih sebulan lebih lagi dari sekarang.
Tetapi melihat banyaknya orangtua yang pusing menghadapi pendaftaran siswa baru dan pendaftaran mahasiswa baru, terutama karena besarnya uang yang harus disiapkan untuk pendaftaran, biaya lain-lain, termasuk biaya-biaya siluman, tiba-tiba muncul pertanyaan, benarkah rakyat Indonesia sudah merdeka?
  Ketika melihat kenyataan banyaknya anak usia sekolah yang putus sekolah (drop out) dan menganggur, tiba-tiba muncul pertanyaan, benarkah rakyat Indonesia sudah merdeka?
  Secara konstitusional, Indonesia memang sudah merdeka. Indonesia sudah memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
  Presiden Soekarno didampingi Wapres Moh Hatta, waktu itu dengan lantang membacakan naskah proklamasi, di sekitar Tugu Proklamasi depan halaman Gedung Proklamasi jalan Peganggasaan Timur 56 Jakarta.
  ''Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja. Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05. Atas nama bangsa Indonesia. Soekarno, Hatta,'' kata Soekarno.
  Alangkah senang dan bangganya para pemimpin bangsa, para pemuda, para pejuang, dan rakyat Indonesia ketika itu. Tetapi apakah para pemimpin bangsa, para pemuda, para pejuang, dan rakyat Indonesia saat ini juga senang dan bangga?
  Indonesia memang sudah merdeka dan diakui kedaulatannya, tetapi dalam hubungan luar negeri, ternyata Indonesia masih terjajah.
  Ketika Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi no. 1474 tentang perluasan sanksi terhadap Iran, ternyata Indonesia tak kuasa menolaknya.
  Ketika segelintir orang yang tinggal di Portugis bersama segelintir orang yang tinggal di Timor Timur ingin memisahkan Timor Timur dari Indonesia, ternyata Indonesia tak mampu mempertahankannya.
  Ketika pulau Sipadan dan Ligitan direbut Malaysia, ternyata Indonesia juga tak berdaya mempertahankannya.
Jadi benarkah Indonesia sudah merdeka? Benarkah Indonesia sudah berdaulat?

Masih Terjajah

  Di sisi lain, rakyat Indonesia ternyata juga masih terjajah.
  Kalau rakyat melapor ke kantor polisi karena kehilangan, kecurian, teraniaya, dan lain-lain, biasanya harus ada uang melapor.
  Kalau rakyat Indonesia sakit dan harus berobat ke rumah sakit, biasanya harus ada uang untuk pemeriksaan, perawatan, pembeli obat, dan uang lain-lain.
  Kalau rakyat Indonesia mau membuat Kartu Keluarga, KTP, dan urusan lain di kantor lurah, kantor kecamatan, kantor bupati/walikota, biasanya harus ada uang administrasi, uang terima kasih, dan uang lain-lain.
  Kalau rakyat Indonesia mau sekolah, mau pintar, biasanya harus ada uang buku, uang pendaftaran, uang pembangunan, uang Komite Sekolah, dan uang lain-lain.
  Kalau rakyat Indonesia mau jadi tentara, polisi, atau pegawai negeri sipil, biasanya harus ada uang pendaftaran, uang pelicin, uang terima kasih, dan uang lain-lain.
  Itu semua menunjukkan betapa rakyat Indonesia masih terjajah.

Pendidikan

  Dalam hal pendidikan misalnya. UUD 45 yang asli pada BAB XIII Pendidikan, Pasal 31, ayat (1), mengatakan; ''Tiap-tiap Warga Negara berhak mendapat pengajaran.''
  UUD 45 hasil amandemen pada BAB XIII Pendidikan dan Kebudayaan, Pasal 31, ayat (1), mengatakan; ''Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Ayat (2) berbunyi; ''Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.''
  Kenyataannya, pemerintah membiarkan saja sekolah memungut berbagai macam biaya kepada para siswa.
  Kenyataannya, pemerintah seperti tidak peduli kalau ada anak yang terpaksa tidak sekolah atau putus sekolah, karena orangtua mereka tak mampu membiayai.
  Kenyataan-kenyataan yang dialami bangsa dan rakyat Indonesia, hingga di usia kemerdekaan yang sudah hampir 62 tahun ini, menunjukkan betapa kita ternyata belum merdeka, kita masih terjajah.

Makassar, 07-07-07

(Dimuat di harian Pedoman Rakyat,
Makassar, Senin, 9 Juli 2007,
rubrik "lanskap", halaman 4)

30 Juli 2007

Dulu Berwibawa, Aman, dan Damai


Oleh Asnawin
---------------------
email:
asnawin@hotmail.com

MANTAN Raja Negeri Angin, Suka Batuk, sedang nonton tivi sambil tidur-tiduran. Di usianya yang sudah lebih 80 tahun, ia banyak menghabiskan waktu dengan membaca koran, nonton tivi, dan beribadah. Sesekali ia bercanda dengan cucu-cucu dan cicitnya.
Ketika asyik nonton tivi, tiba-tiba ada berita sekilas info bahwa sejumlah penari 'liar' tampil di luar agenda acara peringatan Hari Keluarga Kerajaan Negeri Angin.
Mereka bukan hanya tampil menari, melainkan juga mengibarkan bendera Republik Negeri Angin Selatan (RNAS) di depan Raja Negeri Angin, Pangeran Suka Baca, sejumlah pejabat kerajaan, dan sejumlah Duta Besar kerajaan-kerajaan sahabat.
Mantan Raja Angin, Suka Batuk, langsung terbatuk-batuk dan mencak-mencak melihat berita sekilas info itu.
''Seharusnya ini tidak terjadi,'' katanya.
Pada malam hari, Suka Batuk kemudian melihat berita selengkapnya tentang kejadian pengibaran bendera RNAS di hadapan Raja Negeri Angin.
Kehadiran lebih 20 orang penari 'liar' itu mengagetkan semua orang, terutama karena tiba-tiba mereka mengibarkan bendera RNAS.
Raja Negeri Angin, Suka Baca, yang jarang bicara, jarang menanggapi berbagai kritikan terhadap dirinya, dan juga jarang marah, kali ini langsung murka.
Pangeran Suka Baca sangat murka. Mukanya merah. Matanya merah. Tangannya gemetar. Tetapi meskipun murka, Pangeran Suka Baca ternyata masih mampu mengendalikan diri.
Setelah aparat keamanan menggiring para penari 'liar' itu keluar dari lapangan upacara, Raja Suka Baca kemudian tampil ke podium memberikan sambutan.
Semua orang tegang dan menunggu apa yang akan dititahkan Raja, namun Raja Suka Baca hanya mengatakan bisa memahami kejadian tersebut dan memerintahkan agar insiden itu diusut tuntas.
"Kasus ini harus diinvestigasi. Jangan sampai orang lain yang bikin, semua kena getahnya," tandasnya sebelum membacakan naskah sambutannya.

Bungkam, Tangkap, Tembak

Setelah melihat tayangan berita tersebut, Suka Batuk yang nonton tivi bersama beberapa anak, menantu, dan cucu-cicitnya, hanya batuk-batuk kecil. Di bibirnya tersungging senyuman, tetapi dadanya berdebar menahan amarah.
Ketika masih menjabat sebagai Raja, tidak ada orang atau pihak yang berani melakukan hal-hal yang bisa membuat dirinya malu apalagi marah.
Kalau ada yang berani, mereka pasti 'dihabisi'. Ada yang ditembak, ada yang diculik, dan ada yang hilang entah kemana.
Kalau Raja batuk sambil menutup mulut, maka itu berarti perintah untuk 'bungkam orang itu'. Kalau Raja batuk tanpa menutup mulut, maka itu berarti 'tangkap orang itu'. Kalau Raja batuk sambil memegang dada, maka itu berarti 'tembak orang itu.'
Jangankan rakyat biasa, anggota parlemen pun 'dihabisi' kalau mencoba melawan atau mengeritik dirinya. Seorang anggota parlemen yang agak vokal, pernah merasakan akibatnya dengan di-'recall' dari kursi parlemen ketika mengeritik Sang Raja.
Suka Batuk yang mantan Panglima Keamanan Kerajaan Negeri Angin, memang bertangan besi, tetapi wibawa kerajaan dan wibawa Raja menjadi terjaga. Kerajaan lain pun hormat kepada Suka Batuk.
Rakyat memang banyak yang tidak puas atas kepemimpinannya yang bertangan besi, tetapi di sisi lain rakyat bisa menghirup udara bebas dan aman di Negeri Angin.
Tidak ada aksi unjuk rasa yang memacetkan jalanan. Tidak ada isu terorisme. Tidak ada perang antaretnis atau antarkelompok. Tidak ada pembantaian besar-besaran. Tidak ada bom yang meledak di tengah keramaian dan menewaskan orang banyak. Tidak ada orang atau pihak yang berani mengibarkan bendera selain bendera kerajaan di depan Raja.
Rakyat memang banyak yang tidak puas atas kepemimpinan Raja Suka Batuk yang konon korup dan menganakemaskan militer, tetapi di sisi lain rakyat bisa bernafas lega karena harga barang-barang kebutuhan sehari-hari tetap terjangkau, biaya sekolah tidak terlalu mahal, dan biaya pengobatan pun masih normal.
''Saya memang melakukan banyak kesalahan selama kurang lebih 30 tahun menjadi raja, tetapi semua orang kini mengenang masa-masa damai dan aman ketika saya menjadi raja,'' ujar Suka Batuk dalam hatinya.

Makassar, 1 Juli 2007

(Dimuat di harian Pedoman Rakyat,
Makassar, Senin, 2 Juli 2007,
Halaman 4/Opini, rubrik "lanskap")


'Perceraian' Pemimpin


Oleh Asnawin
email: asnawin@hotmail.com

  PERCERAIAN adalah barang halal. Perceraian adalah sesuatu yang boleh saja dilakukan. Perceraian tidak dilarang. Tetapi perceraian sebenarnya dibenci oleh Allah. Tetapi perceraian biasanya akan menyakitkan. Tetapi perceraian biasanya akan menimbulkan dampak negatif.
  Sepasang suami isteri yang bercerai, apapun alasannya, pasti akan menyakitkan kedua pihak, apalagi kalau perkawinannya sudah berlangsung lama, karena tentu banyak kemesraan dan kenangan indah yang sudah dilalui. Dampak perceraian mereka pasti akan dirasakan anak-anaknya (kalau ada).
  Bagaimana kalau yang 'bercerai' adalah para pemimpin bangsa kita? Bagaimana kalau yang 'bercerai' adalah pasangan presiden dan wakil presiden?
  Menjelang kejatuhan Presiden Soeharto (Mei 1998), beberapa tokoh melakukan 'kawin massal'. Mereka antara lain Amien Rais, Megawati Soekarnoputri, KH Abdurrahman Wahid, dan Akbar Tandjung.
'Perkawinan' mereka mendapat porsi pemberitaan yang luas, baik oleh media massa di dalam negeri, maupun media luar negeri.
  Seusai melakukan 'perkawinan massal', mereka menjalani 'masa bulan madu'. Kemesraan mereka menimbulkan kecemburuan dari berbagai pihak, terutama yang juga merasa tokoh dan merasa pantas diikutkan dalam 'perkawinan massal' itu.
  Setelah Soeharto jatuh, 'perkawinan' para tokoh bangsa itu masih bertahan. Mereka ingin menjatuhkan BJ Habibie yang menggantikan Soeharto sebagai presiden.
  Seusai Pemilu 1999, 'perkawinan' para tokoh bangsa itu masih bertahan. Tetapi pada saat itu muncul dua kubu yang saling berhadap-hadapan, yakni kubu BJ Habibie (Partai Golkar) dan kubu Megawati Soekarnoputri (PDIP).
  Persaingan antara dua kubu ini cukup mengkhawatirkan. Saat itulah muncul Amien Rais dengan menawarkan 'poros tengah'. Ia menggalang partai-partai berbasis Islam dan berhasil mengubah konstalasi politik nasional secara signifikan.
  Dengan munculnya Poros Tengah, posisi dan kekuatan Megawati dan BJ Habibie menjadi melemah. Dampaknya, laporan pertanggungjawaban BJ Habibie ditolak Sidang Umum MPR 1999. Merasa tidak lagi punya legitimasi secara politik, BJ Habibie akhirnya mengurungkan pencalonannya sebagai presiden berpasangan dengan Wiranto.
  Setelah BJ Habibie mundur, muncul beberapa capres, yakni Akbar Tanjung, Hamzah Haz, Yusril Ihza Mahendra, dan Amien Rais. Mereka ingin mengganjal Megawati yang peluangnya menjadi sangat besar.
Pada malam setelah Laporan Pertanggungjawaban BJ Habibie ditolak, dilakukan pertemuan di kediaman BJ Habibie, yang dihadiri empat pimpinan parpol, yakni Akbar Tanjung (Golkar), Hamzah Haz (PPP), Yusril Ihza Mahendra (PBB), dan Amien Rais (PAN).
  Pertemuan itu menyepakati Amien Rais sebagai capres untuk menghadapi Megawati, tetapi Amien yang sudah terpilih sebagai Ketua MPR RI menolak. Ia malah memilih Gus Dur. Tentu saja banyak pihak yang kaget, karena Gus Dur punya kekurangan secara fisik, namun akhirnya semua pihak mendukung dan Gus Dur pun menang dalam pemilihan presiden yang dilaksanakan di gedung MPR RI.
  Terpilihnya Gus Dur tidak serta merta meretakkan 'perkawinan' para tokoh bangsa yang sudah bertahan setahun, apalagi kemudian Megawati terpilih menjadi wakil presiden mendampingi Gus Dur.
  'Perkawinan' para tokoh bangsa itu pun makin 'mesra'. Bukti 'kemesraan' itu terlihat dengan masuknya Amien Rais sebagai salah seorang tim penyusun kabinet.
  Sekitar satu tahun kemudian barulah terjadi 'keretakan'. Para pengusung Gus Dur dari Poros Tengah merasa tidak dihargai dan ditinggalkan. Puncaknya ketika Gus Dur memecat Hamzah Haz sebagai Menko Kesra. Saat itulah 'pekawinan massal' bubar dan terjadilah 'perceraian'.
  Poros Tengah kemudian 'meninggalkan' Gus Dur dan menggalang kekuatan dengan PDIP dan Golkar yang juga sudah merasa dilecehkan Gus Dur.
  Kekuatan yang digalang Poros Tengah itu kemudian berhasil menjatuhkan Gus Dur dan mengangkat Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden pada Juli 2001.
  Kini, 'perkawinan' antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Wapres Jusuf Kalla terancam 'bubar', setelah Surya Paloh yang Ketua Dewan Penasehat Partai Golkar menjalin 'kemesraan' dengan tokoh senior PDIP, Taufik Kiemas, yang tidak lain suami Megawati Soekarnoputri.
  Akankah 'perceraian' itu kelak terjadi? Kita lihat saja nanti. Yang pasti, sudah banyak terjadi 'perceraian' antara pasangan gubernur dan wakil gubernur, sudah banyak terjadi 'perceraian' antara pasangan walikota dan wakil walikota, dan sudah banyak terjadi 'perceraian' antara bupati dengan wakil bupati.

Makassar, 24 Juni 2007

(Dimuat di harian Pedoman Rakyat,
Makassar, Senin, 25 Juni 2007,
Halaman 4/Opini, rubrik ''lanskap'')


Berhentilah Bermimpi

Berhentilah Bermimpi

Oleh Asnawin
email: asnawin@hotmail.com

BENCANA itu akhirnya datang juga. Linangan air mata akhirnya tak bisa dibendung. Apa yang dikhawatirkan banyak orang selama ini, akhirnya terbukti.
Ratusan ribu siswa SMA dan SMP di Negeri Ajaib tidak lulus dalam Ujian Nasional (UN). Ratusan ribu siswa di Negeri Ajaib terpaksa menangis.
Di beberapa daerah, siswa yang tidak lulus bukannya menangis, melainkan marah dan melakukan tindakan anarkis. Ada yang memorak-porandakan seluruh bangku dan meja, ada yang memecahkan kaca, dan ada pula yang membakar gedung sekolahnya.
Banyak di antara mereka yang sebenarnya pintar dan bagus nilai rata-rata ujiannya. Banyak di antara mereka yang sebenarnya berbakat dan bagus prestasinya. Tetapi mereka akhirnya tidak lulus hanya gara-gara satu mata pelajaran dalam UN yang nilainya rendah.
''Saya tidak mengerti. Bagaimana bisa ada anak pintar tetapi tidak lulus UN?'' tanya seorang anggota DPRD kepada adik sepupunya yang seorang guru.
''Ada beberapa penyebab atau faktor yang memengaruhi,'' kata sang guru.
Dia kemudian menjelaskan bahwa ada anak yang sangat menyukai mata pelajaran tertentu, tetapi tidak suka kepada mata pelajaran lain.
Ada anak yang menyukai mata pelajaran non-eksak, tetapi sebaliknya tidak suka mata pelajaran eksak. Ada juga anak yang sebenarnya menyukai semua mata pelajaran, tetapi kemampuannya untuk menguasai salah satu atau beberapa mata pelajaran tertentu, memang rendah.
''Dan celakanya, biar pun nilai ulangan hariannya bagus, tetapi nilai UN-nya di bawah standar, tetap tidak bisa diluluskan. Anak yang bagus nilai UN-nya pun belum tentu lulus, apalagi kalau memang nilai UN-nya di bawah standar,'' tutur sang guru.
''Maksudnya?'' tanya si anggota DPRD.
''Selain nilai UN, masih ada penilaian lain seperti ulangan harian, tingkah laku, dan kedisiplinan,'' jelas sang guru.
Mendengar penjelasan sepupunya, politisi yang mantan pengacara itu hanya manggut-manggut, namun tak lama kemudian ia kembali bertanya.
''Tetapi mengapa sampai begitu banyak siswa yang tidak lulus, bahkan ada beberapa daerah yang persentase ketidaklulusannya agak tinggi,'' tanyanya.
''Itu memang selalu dipertanyakan orang,'' kata sang guru.
''Ada yang curiga bahwa mungkin beredar kunci jawaban palsu,'' kata si anggota dewan.
''Terlepas dari ada tidaknya kunci jawaban palsu, terus terang kami para guru memang selalu berupaya membantu siswa, karena kami tahu kemampuan mereka dan kami juga malu kalau banyak siswa kami yang tidak lulus, apalagi secara tidak langsung memang ada instruksi dari atas untuk membantu siswa,'' tutur sang guru.
''Begitukah?'' tanya si anggota dewan.
''Ah, kakanda ini serius atau pura-pura tidak tahu,'' tanya kata sang guru.
''Saya pernah dengar sepintas, tetapi tidak pernah mendengar pengakuan langsung dari guru dan kepala sekolah,'' ungkap si anggota dewan.

Terlalu Dipaksakan

Terus terang, kata sang guru, pelaksanaan UN sebenarnya terlalu dipaksakan dan secara tidak langsung merebut hak guru untuk mengevaluasi anak didiknya.
Dipaksakan karena kondisi sekolah, fasilitas, sarana, dan prasarana antara sekolah di kota besar dengan sekolah di pelosok desa sangat jauh berbeda. Kemampuan dan fasilitas yang dimiliki guru di kota dan di desa juga jauh berbeda.
Sekolah di kota bagus dan lengkap fasilitasnya, sedangkan sekolah di desa banyak rusak dan fasilitasnya sangat minim.
Anak-anak di kota bisa dengan bebas memilih lembaga kursus dan lembaga bimbingan belajar yang ingin dimasuki untuk menambah pengetahuan dan melatih keterampilan mereka. Di kota juga banyak warung internet (warnet), banyak perpustakaan, banyak toko buku, serta banyak koran dan majalah.
Bandingkan dengan anak di desa yang mungkin menyentuh komputer pun tidak pernah. Bandingkan dengan anak di desa yang mungkin memegang handphone pun tidak pernah.
Para guru di kota memiliki banyak kesempatan mengikuti seminar, diskusi, workshop, dan pelatihan, sehingga wawasan, pengetahuan, dan pengalaman mereka cukup banyak. Dalam mengajar pun, guru di kota mungkin sudah melakukan berbagai metode, mulai dari metode diskusi, simulasi, dan belajar di alam terbuka.
Bandingkan dengan guru di desa yang hampir tidak punya peluang mengikuti seminar, diskusi, workshop, dan pelatihan. Bandingkan dengan guru di desa yang karena berbagai kendala, hanya melakukan satu metode mengajar yakni metode ceramah.
''Kalau begitu, UN memang terlalu dipaksakan ya?'' tanya si anggota dewan.
''Sebenarnya tujuannya bagus untuk memacu semangat belajar siswa dan itu cukup berhasil, tetapi mimpi pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan cara mengadakan UN, terlalu tinggi,'' kata sang guru.
Yang terjadi, katanya, anak-anak memang bersemangat belajar, guru, kepala sekolah, dan para orangtua pun sibuk membantu, tetapi semangat dan bantuan itu semata-mata untuk membuat siswa lulus, bukan untuk pintar.
Lembaga bimbingan belajar pun hanya mengajarkan berbagai simulasi pengerjaan soal-soal yang bertujuan agar siswa lulus dalam ujian. Soal-soal yang diberikan hanya yang sering muncul dalam UN dan dalam Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).
Banyak materi pelajaran dalam kurikulum yang diabaikan oleh lembaga bimbingan belajar, karena UN juga mengabaikannya.
''Seandainya diberi kesempatan bertemu dengan Wapres dan Mendiknas, saya akan bilang berhentilah bermimpi. Bangunlah dan lihatlah kenyataan yang ada di lapangan. Lihatlah betapa mimpi bapak-bapak telah menelan begitu banyak korban. Lihatlah betapa mimpi bapak-bapak telah merusak proses pendidikan di sekolah dan di luar sekolah,'' ujar sang guru.
''Tetapi bukankah bagi siswa yang tidak lulus di sekolah, masih bisa ikut ujian kesetaraan?'' kata si anggota dewan.
''Ujian Paket C setara SMA dan ujian Paket B setara SMP itu dulu sebenarnya diperuntukkan bagi orang yang mau cari pekerjaan, bukan untuk lanjut sekolah, tetapi karena negeri kita Negeri Ajaib, maka pemerintah bisa dengan mudah mengubah kebijakannya,'' tutur sang guru.
Yang lucu, lanjut sang guru, siswa SMK juga boleh ikut ujian Paket C, padahal Paket C itu setara SMA, bukan setara SMK.
''Kasihan anak-anak kita. Tiga tahun belajar di SMA, SMK, atau MA, tetapi akhirnya mendapatkan ijazah Paket C yang dikeluarkan Dinas Pendidikan. Jadi mereka bukan alumni sekolah tertentu, melainkan alumni Dinas Pendidikan,'' papar sang guru.
Mendengar penuturan adik sepupunya, si anggota dewan tidak lagi bertanya.

Makassar, 17 Juni 2007

(Dimuat di Pedoman Rakyat,
Makassar, Senin, 18 Juni 2007,
Halaman 4/Opini, rubrik 'lanskap')


29 Juli 2007

Kota Terjorok di Negeri Liliput

Kota Terjorok di Negeri Liliput

Oleh Asnawin
------------------
email:
asnawin@hotmail.com

KONON, Kota Teduh Bersinar, di Negeri Liliput, dulu sangat subur, teduh, dan bersih. Penduduknya ramah dan terbilang religius. Keamanan pun terjamin.
Seiring perkembangan zaman dan banyaknya 'pengaruh luar', baik karena kedatangan 'orang luar' maupun karena arus informasi dan komunikasi, Kota Teduh Bersinar perlahan-lahan mulai berubah.
Banyak pohon yang ditebang, termasuk pohon yang tumbuh berjejer di pinggir jalan. Banyak orang yang membuang sampah sembarangan.
Tingkat keramahan penduduk juga perlahan-lahan berkurang. Kalau dulu masjid selalu penuh dan ramai, kini mulai sepi jemaahnya. Peristiwa kriminal pun mulai banyak.
Karena jumlah penduduk semakin banyak, arus lalu lintas pun kian padat dan tak jarang terjadi kemacetan arus lalu lintas.
Tempat prostitusi berkedok tempat hiburan malam (THM), hotel, wisma, panti pijat, dan salon, juga makin 'menjamur.'
Sungai dan kanal dalam kota yang dulunya berair bersih dan bening, kini sudah dipenuhi sampah dan sebagian menimbulkan bau tak sedap.
Pedagang kaki lima sejak dulu memang sudah ada, tetapi jumlahnya tidak banyak. Sekarang, pedagang kaki lima bukan cuma ada di sekitar pasar, melainkan sudah ada di mana-mana.
Belasan tahun lalu, Kota Teduh Bersinar masih tergolong bersih, tertib, dan teduh. Atas prestasinya itu, Raja Negeri Liliput kemudian memberikan Piala Adipura. Saking gembiranya, Wali Kota Teduh Bersinar ketika itu langsung membuat Tugu Piala Adipura.

Malu dan Sedih

Kini, tugu itu masih ada, tetapi justru karena keberadaannya itulah, Aladin yang menjabat Wali Kota Teduh Bersinar, jadi malu.
Malu kepada Raja Negeri Liliput, malu kepada Gubernur Suka Bersih, malu kepada rekan-rekannya sesama wali kota dan bupati, serta malu kepada rakyatnya.
Pria berusia sekitar 40 tahun itu malu karena Kementerian Lingkungan Hidup memberikan angka terendah dalam penilaian Piala Kebersihan tahun ini.
Ketua salah satu partai politik itu malu karena kotanya dicap sebagai 'Kota Terjorok' di Negeri Liliput.
Semua media cetak memberitakan dengan judul besar 'Teduh Bersinar Kota Terjorok'. Media elektronik meramaikannya dengan berbagai komentar dari berbagai kalangan, termasuk dari mantan wali kota.
Karena merasa malu, Aladin kemudian memutuskan meninggalkan kota selama beberapa hari. Kepada wakil wali kota (wawali) dan sekretaris kota (sekkot), ia mengatakan akan menemui kedua orangtuanya yang hidup bertani di salah satu kabupaten.
Kepada orangtuanya, Aladin mengemukakan bahwa ia merasa malu karena kota yang dipimpinnya dicap sebagai Kota Terjorok di Negeri Liliput.
Dengan sedih Aladin mengatakan bahwa dirinya sudah banyak berbuat dan bahkan meraih beberapa penghargaan atas berbagai prestasinya sebagai wali kota, tetapi cap sebagai kota terjorok meruntuhkan segalanya.
Mendengar keluhan dan melihat kesedihan anaknya, ayah Aladin yang juga pernah menjadi bupati, mengingatkan agar dia tidak larut dalam kesedihan.
Ia menyarankan kepada Aladin agar menata hati untuk bisa menerima apa yang tengah dihadapi, karena itu jauh lebih berarti dibanding berlarut-larut dalam kesedihan yang bisa membuat jatuh dalam keputusasaan.
''Kalau seseorang telah jatuh dalam keputusasaan, pikiran bisa menjadi kosong, dan hidup terasa hampa seolah-olah kita tak berguna lagi,'' katanya.
Aladin juga diingatkan agar memerhatikan dengan seksama orang-orang yang ada di sekelilingnya.
''Boleh jadi kamu membenci seseorang, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai seseorang, padahal ia amat buruk bagimu,'' ujar sang ayah.
Dia juga mengingatkan bahwa Tuhan tidak mungkin menimpakan cobaan di luar kesanggupan hamba-hambaNya.
Sebuah cobaan, kata ayahnya, mungkin terasa berat di awalnya, tetapi mungkin saja ada hikmah yang terkandung di dalamnya.
''Kalau kita mampu menarik hikmah dari cobaan yang kita hadapi, mungkin hikmah itulah nanti yang akan menyelamatkan kita. Kembalilah ke kota dan optimislah, doa kami selalu menyertaimu. Mudah-mudahan penduduk Kota Teduh Bersinar bisa kembali bersimpati dan percaya akan kemampuanmu,'' tutur ayah Aladin.

Makassar, 10 Juni 2007

(Dimuat di harian Pedoman Rakyat,
Makassar, Senin, 11 Juni 2007,
Halaman 4/Opini, rubrik "lanskap")


Perdamaian, Pencurian, dan Perkosaan

Perdamaian, Pencurian, dan Perkosaan

Oleh Asnawin

Lagu 'perdamaian' bergema di seluruh negeri, baik di radio maupun televisi. Banyak orang yang tidak tahu masalah, bertanya-tanya. Ada apa lagu 'perdamaian' diputar berulang-ulang.
''Ada apakah itu sampai radio dan televisi memutar lagu perdamaian?'' tanya seorang ibu rumah tangga dengan dialek Makassar, kepada suaminya.
''Makanya baca koran atau nonton tivi,'' jawab suaminya.
''Saya 'kan selalu baca koran dan suka nonton tivi,'' kata si istri.
''Tapi ibu baca koran hanya mau lihat resep masakan dan berita kriminal. Nonton tivi juga hanya sinetron dan infotaimen. Sekali-sekali baca juga perkembangan politik,'' sindir suaminya sambil tersenyum.
''Bilangmaki saja pak, ada apa sampai radio dan tivi memutar lagu perdamaian,'' desak si istri.
Suaminya kemudian menjelaskan bahwa Presiden dan mantan Ketua MPR sudah bertemu dan 'berdamai'. Kedua tokoh itu sebelumnya terlibat perseteruan setelah mantan Ketua MPR mengungkapkan bahwa dirinya menerima dana ilegal dari salah satu departemen saat menjadi menjadi calon presiden pada Pemilu lalu.
Mantan Ketua MPR yang profesor dan kini 'kembali ke jalan lurus' dengan mengajar di almamaternya, juga mengatakan kemungkinan semua capres dan cawapres pada pemilu lalu, turut menerima dana ilegal dari departemen yang sama. Tokoh reformasi itu menambahkan bahwa mungkin juga ada pasangan capres dan cawapres yang menerima dana asing secara ilegal.
Merasa terpojok dengan pernyataan itu, Presiden bereaksi dengan mengadakan jumpa wartawan di halaman istana negara.
Dengan gayanya yang khas, pria yang berlatar belakang militer itu mengancam akan menuntut orang dan pihak-pihak lain yang dianggap telah memfitnahnya terkait dana ilegal dan dana asing untuk dirinya pada pemilu lalu.
''Opini yang berkembang telah menyinggung harga diri saya selaku Presiden,'' kata Presiden dengan mata merah.
Mantan Ketua MPR tidak takut dengan ancaman itu dan bahkan siap menghadapinya. Ancaman Presiden dan pernyataan mantan Ketua MPR itu kemudian menjadi berita besar seluruh media massa, baik cetak maupun elektronik.
Polemik dan berbagai spekulasi pun berkembang, tetapi tidak sampai sepekan kemudian, kedua tokoh itu kemudian bertemu dan 'berdamai'.
Mendengar penjelasan suaminya, si istri hanya berkata; ''Oh.''

Pencurian

Namun tak lama kemudian, si istri kembali mengajukan pertanyaan.
''Pak, di koran juga ada berita anggota DPRD kota yang mencuri listrik. Betulkah itu, pak?'' tanyanya.
''Bukan anggota dewan yang mencuri. Cuma kebetulan hotelnya kedapatan mencuri listrik,'' jawab suaminya.
''Samaji itu pak,'' kata si istri.
''Tidak sama, karena bisa saja anggota dewan itu tidak tahu apa-apa,'' ujar suaminya.
Mendengar jawaban suaminya, si istri hanya berkata; ''Oh.''

Perkosaan

Tidak lama kemudian, si istri kembali bertanya.
''Apakah bapak juga membaca berita daerah di koran tentang seorang ayah memerkosa anaknya sampai hamil dan melahirkan?'' tanyanya.
''Saya baca beritanya setelah teman-teman di warung kopi membicarakannya,'' jawab suaminya.
''Bejatnya itu kalau ada seorang ayah memerkosa dan menghamili anaknya. Terus anaknya itu nanti kalau sudah besar mau panggil apa, bapak atau dato','' tanya si istri.
''Saya kira anak itu nanti disuruh panggil bapak, karena kalau panggil dato', pasti dia akan bertanya, siapa dan di mana bapaknya. Kalau si anak sudah punya bapak dan masih bertanya di mana dato'-nya, jawabnya mudah saja. Si bapak pasti akan bilang dato'-nya sudah tidak ada,'' ujar suaminya.
Mendengar jawaban suaminya, si istri hanya terdiam dan tidak lagi berkata ''Oh.''

Makassar, 3 Juni 2007

(Dimuat di harian Pedoman Rakyat,
Makassar, Senin, 4 Juni 2007,
Halaman 4/Opini, rubrik 'lanskap')


Kafilah Terpaksa Singgah

Kafilah Terpaksa Singgah

(Oleh Asnawin)

DUA setengah tahun menjabat Presiden Negeri Antah-berantah, tiada putus-putusnya masalah yang dihadapi Pak Sulit Bakambang. Baik masalah bencana alam, konflik di daerah, hingga masalah politik.
Meskipun demikian, Pak Sulit Bakambang bersama wakilnya, Pak Judes Kata, tetap kelihatan tegar menghadapi segalanya.
Ketika ada bencana alam, Pak Sulit Bakambang dan Pak Judes Kata berupaya terjun langsung ke lokasi untuk membawa bantuan dan memberikan semangat kepada warga yang tertimpa musibah.
Saat ada konflik di daerah, keduanya juga berupaya mengamankan situasi dengan berbagai pendekatan. Sewaktu para politisi dan sebagian elemen masyarakat menginginkan pergantian kabinet, Pak Sulit dan Pak Judes meresponnya dengan mengganti dan menggeser posisi beberapa menteri.
Semua masalah diatasi dengan 'sebaik-baiknya'. Tak ada masalah yang dihadapi dengan marah, termasuk berbagai kritik pedas.
Pak Sulit Bakambang yang memang selalu tampil tenang dan berwibawa, menghadapi berbagai kritikan dan isu secara bijak. Pak Sulit memang berlatar-belakang militer dan mantan Kepala Staf Panglima Perang, tetapi ia sama sekali tidak sangar dan tidak angker, malahan ia tampak lebih sipil dibanding orang sipil murni.
Meskipun tampak senantiasa memberikan respon dan menghadapi berbagai masalah, kritikan, dan isu dengan tenang, tetap saja orang mengkritisinya, tetap ada orang mengungkapkan isu-isu negatif. Malahan ada yang menyebut dirinya ibarat 'kafilah yang tetap berlalu, meskipun anjing menggonggong.''
Pak Sulit misalnya tidak terlalu merespon teriakan rakyat tentang semakin mahalnya biaya pendidikan, minimnya alokasi anggaran pendidikan dalam APBN, serta banyaknya siswa SMA dan SMP tidak lulus akibat kebijakan pelaksanaan Ujian Nasional (UN) yang menentukan kelulusan.
Pak Sulit juga tidak terlalu merespon teriakan rakyat tentang tingginya kenaikan harga BBM yang menyebabkan melonjaknya harga barang-barang kebutuhan sehari-hari.
Pak Sulit memang merespon ketika sebagian elemen rakyat menginginkan pergantian beberapa menteri, tetapi ada menteri yang tetap dipertahankan dan hanya digeser posisinya, padahal menteri itulah yang sebenarnya diinginkan rakyat untuk diganti. Yang pasti, semua kritikan dihadapi dengan tenang dan dirinya tetap berupaya tampil berwibawa.
Namun ketika muncul isu bahwa semua pasangan calon presiden dan wakil presiden pada pemilu dua tahun lalu, turut menerima sumbangan dana non-budgeter salah satu departemen, Pak Sulit tampaknya tidak tahan juga untuk tidak memberikan reaksi. Apalagi, ada isu tambahan bahwa salah satu pasangan capres dan cawapres menerima sumbangan dari pihak asing yang jumlahnya cukup besar.
Reaksi Pak Sulit malah agak berlebihan, karena ia mengancam akan menuntut orang dan pihak-pihak lain yang dianggap telah memfitnahnya terkait aliran dana non-budgeter maupun dana asing untuk dirinya bersama Pak Judes saat kampanye Pamilu lalu.
Ia bahkan mengadakan konferensi pers khusus di halaman Kompleks Istana Kepresidenan, dan menegaskan bahwa opini yang berkembang telah menyinggung harga dirinya.
Pak Sulit menandaskan bahwa opini maupun isu yang diembuskan orang atau pihak-pihak tertentu selama ini soal dana non-budgeter maupun dana asing adalah fitnah yang kejam dan keji.
''Itu artinya kafilah terpaksa singgah. Presiden bersama kafilahnya terpaksa singgah, karena anjing bukan cuma menggonggong, melainkan juga sudah pandai dan berani bicara,'' ujar seorang seniman kepada rekannya seusai pentas pada perayaan acara Hari Kebangkitan Nasional tingkat kelurahan.
''Padahal Presiden kita itu sebenarnya bukan pemarah dan juga bukan orang tamak,'' kata rekannya.
''Kelihatannya memang begitu,'' ujar si seniman.
''Tetapi bagaimana dengan orang-orang sekitarnya? Siapa yang bisa menjamin bahwa presiden kita itu tidak dikelilingi orang-orang pemarah dan orang tamak.'' kata rekannya.
''Kalaupun orang-orang di sekitarnya ada yang pemarah dan tamak, kita berharap presiden kita sadar dan mau menyadarkan orang-orang itu, seperti sadarnya seorang Sultan ketika tidak dihormati seorang rakyatnya saat melakukan parade keliling kota,'' ungkap si seniman.

Sultan dan Rakyat Biasa

Si seniman kemudian bercerita bahwa konon ratusan tahun silam ada seorang Sultan yang sangat dihormati dan ditakuti rakyatnya. Sesekali ia berparade di jalan-jalan untuk melihat keadaan rakyatnya dan untuk melihat apakah rakyat masih menghormati dan takut kepadanya.
Suatu hari sang Sultan bersama para pengawal dan tentaranya melakukan parade. Semua orang memberikan hormat ketika Sultan lewat, kecuali seorang rakyat biasa.
Sang Sultan marah dan segera memerintahkan tentaranya untuk memanggil si rakyat yang tidak mau memberi hormat itu.
Setelah diperhadapkan dan ditanyai mengapa dirinya tidak menunduk dan memberi hormat kepada Sultan, rakyat biasa itu mengatakan; "Biarlah semua orang menghormat kepada Sultan. Mereka mungkin takut dan sebagian dari mereka mungkin menginginkan sesuatu dari Sultan, misalnya harta, kedudukan, dan atau kekuasaan. Tetapi itu semua tidak berarti bagi hamba. Untuk apa hamba menghormat kepada Sultan apabila hamba punya dua budak yang merupakan tuan-tuan Sultan?''
Meskipun tutur kata si rakyat biasa itu sopan, Sultan dan semua orang yang mendengarnya menjadi ternganga. Sultan menjadi marah dan wajahnya memerah.
"Apa maksudmu wahai rakyat jelata?" bentaknya.
"Kedua budakku yang menjadi tuanmu adalah amarah dan ketamakan," jawab si rakyat jelata dengan tenang.
Sultan akhirnya sadar dan kemarahannya perlahan-lahan sirna. Saat itu juga ia mengucapkan terima kasih dan memberi penghormatan kepada si rakyat jelata.
Mendengar cerita itu, rekan si seniman tampak tersenyum dan manggut-manggut.
''Seharusnya presiden kita itu tidak perlu marah menghadapi berbagai kritikan dan isu, apalagi kalau memang tidak benar, karena reaksi dan kemarahannya bisa menjadi diskusi panjang serta merembet masalah-masalah lain,'' katanya.
''Kewibawaannya juga bisa menurun bahkan bisa runtuh kalau kemudian terbukti bahwa ia menerima dana non-budgeter dan dana asing pada Pemilu lalu,'' timpal si seniman.

Makassar, 27 Mei 2007

(Dimuat di harian Pedoman Rakyat,
Makassar, Senin, 28 Mei 2007,
Halaman 4/Opini, rubrik 'lanskap')

Nabi Juga Dipenjara

Nabi Juga Dipenjara

(oleh Asnawin)

NABI adalah orang mulia, karena mereka adalah utusan Sang Khalik. Presiden adalah orang mulia, karena mereka adalah orang yang diberikan amanat untuk memimpin dan mengatur negara.
Bupati di era otonomi ini juga orang mulia, karena mereka dipilih dan mendapat amanat dari rakyat untuk mengelola pemerintahan kabupaten.
Profesor pasti juga orang mulia, karena mereka adalah Guru Besar, suatu jabatan akademik tertinggi di perguruan tinggi.
Apakah kemuliaan seorang nabi, seorang presiden, seorang bupati, atau seorang profesor akan luntur kalau mereka dijebloskan ke dalam penjara? Apakah seorang nabi, seorang presiden, seorang bupati, atau seorang profesor akan menjadi hina dina kalau mereka dijebloskan ke dalam penjara?
''Belum tentu,'' jawab seorang pimpinan bank swasta atas pertanyaan yang diajukan seorang pengusaha saat keduanya ngobrol di sebuah kafe.
Pimpinan bank yang berusia sekitar 50 tahun itu, mengatakan, banyak orang tidak bersalah masuk penjara, dan sebaliknya tidak sedikit orang bersalah yang lolos dari jerat hukum.
Kalau ada menteri yang diduga terlibat korupsi, tidak bisa dijerat hukum, itu bisa dimaklumi, karena aturan di negara kita tidak memungkinkan seorang menteri menjadi tersangka dan diadili tanpa seizin presiden.
''Itu sih semua orang tahu, tapi bagaimana pun, seorang menteri tetap akan tercoreng namanya kalau sudah terbentuk opini publik bahwa dia terlibat korupsi,'' kata sang pengusaha.
''Kita ini bicara seolah-olah kita orang bersih, padahal kita juga kadang-kadang mencuri dan menyogok,'' kata si pimpinan bank sambil tersenyum.
''Tapi kita bukan koruptor, karena kita tidak mencuri uang negara dan kita bukan pejabat,'' timpal si pengusaha juga sambil tertawa.
''Jadi, kita tidak mungkin masuk penjara,'' ujar si pimpinan bank sambil memegang perutnya yang terasa agak sakit.

Yusuf dan Sulaeha

Seusai makan malam, si pengusaha bersama isteri, anak perempuannya yang kelas tiga SMP, serta mertua laki-lakinya, santai di ruang tengah.
Si anak mengatakan bahwa gurunya tadi pagi di sekolah mengaku sedih karena ada berita profesor masuk penjara.
''Ayah juga sedih, karena seharusnya mereka menjadi teladan,'' kata si pengusaha.
''Ayah, apakah profesor itu benar-benar korupsi?'' tanya si anak.
''Mudah-mudahan tidak. Bisa saja karena difitnah. Nabi Yusuf juga dipenjara, tetapi beliau tidak bersalah,'' potong mertua si pengusaha.
Kakek yang baru beberapa hari datang dari kampung itu kemudian menuturkan kisah Nabi Yusuf dan Sulaeha.
''Nabi Yusuf sebenarnya dibeli sebagai budak oleh keluarga Sulaeha, sejak ia masih remaja, tetapi ternyata ia tumbuh besar dengan perawakan bagus dan wajah sangat tampan,'' cerita si kakek.
Sulaeha yang juga cantik dan awet muda kemudian jatuh cinta kepada Nabi Yusuf, tetapi cintanya ditolak karena Nabi Yusuf sangat menghormati majikannya, Futhifar, suami Sulaeha. Futhifar sehari-hari adalah pejabat kerajaan.
Suatu hari ketika si suami tidak ada di rumah, Sulaeha memanggil Yusuf ke kamar tidurnya untuk memijat punggungnya. Tiba-tiba Sulaeha mengunci pintu dan meminta Yusuf melepaskan rindunya serta memuaskan nafsu syahwatnya. Namun, Yusuf menolak.
Sulaeha marah. Yusuf yang ketakutan kemudian berlari dan membuka pintu, tetapi Sulaeha berhasil mengejarnya dan menarik baju Yusuf kuat-kuat hingga robek.
Saat itulah datang Futhifar dan melihat adanya ketidakberesan.
Tanpa memberi kesempatan Yusuf membuka mulut, berkatalah Sulaeha cepat-cepat kepada suaminya bahwa Yusuf telah berani secara kurang ajar masuk ke kamar tidurnya dan ingin memerkosanya. Ia kemudian meminta suaminya agar memenjarakan dan menyiksa Yusuf.
Futhifar tidak langsung percaya. Dia meminta pendapat kepada iparnya, saudara Sulaeha.
''Kalau baju Yusuf terkoyak di bagian belakangnya, maka dialah yang benar dan isterimu yang dusta. Sebaliknya, kalau baju Yusuf terkoyak di bagian depan, maka dialah yang berdusta dan isterimu yang berkata benar," kata iparnya yang dikenal pandai dan bijaksana.
Mendengar pertimbangan tersebut dan melihat bahwa baju Yusuf robek di bagian belakang, Futhifar kemudian meminta isterinya bertobat. Ia meminta Yusuf dan seluruh penghuni rumah merahasiakan kejadian tersebut dan menganggap masalah sudah selesai.
Nabi Yusuf yang takut akan terulang bujukan Sulaeha, kemudian mengadu kepada Sang Khalik bahwa dirinya lebih baik dipenjara dari pada harus memperturutkan hawa nafsu majikannya.
Secara kebetulan, kejadian antara Yusuf dan Sulaeha juga sudah bocor dan menjadi pembicaraan umum. Untuk menutupi malu, Sulaeha meminta suaminya memenjarakan Yusuf dan permintaan itu terpaksa dipenuhi Futhifar.
''Begitulah kisahnya sehingga Nabi Yusuf dipenjara,'' tutur si kakek menutup ceritanya.

Makassar, 20 Mei 2007

(Dimuat di harian Pedoman Rakyat,
Makassar, Senin, 21 Mei 2007,
halaman 4/Opini, rubrik 'lanskap')

Penguasa atau Penghibur


PENGUASA DAN PENGHIBUR. “Penguasa, Raja, Presiden, Perdana Menteri, kadang-kadang harus mengambil keputusan yang tidak populer dan mungkin tidak bisa menyenangkan semua orang. Sebaliknya, seorang penghibur harus meraih popularitas. Kian banyak pujian dan tepuk tangan karena peran yang dibawakannya, semakin berhasillah ia sebagai penghibur.” - Asnawin  Aminuddin -

28 Juli 2007

Merasa Mampu

Merasa Mampu

(Oleh: Asnawin)

NEGERI Antah-berantah sedang punya hajatan. Beberapa bulan ke depan, rakyat akan memilih Pemimpin Negeri. Ada lima pasangan kandidat pemimpin.
Dari 10 kandidat tersebut, hanya satu yang berkelamin perempuan. Namanya, La Becce, dan ia akan maju sebagai kandidat 01.
Walaupun berkelamin perempuan, ia merasa mampu memimpin negeri dongeng tersebut. Ia diusung Partai Demokrasi Antah-berantah. Pasangannya seorang kiyai yang memimpin sebuah organisasi keagamaan.
Kandidat kedua adalah Pemimpin Negeri yang sedang berkuasa, sedangkan pasangannya seorang profesor. Sang pemimpin usianya sudah agak uzur, tetapi ia merasa masih mampu memimpin lima tahun ke depan. Pasangan ini diusung Partai Manjulang Langit yang merupakan partai terbesar di Negeri Antah-berantah.
Kandidat ketiga seorang ustaz muda. Ia mantan aktivis mahasiswa dan kini menjadi anggota Parlemen Rakyat Antah-berantah mewakili Anak Negeri Suka Wangsit. Meskipun tidak punya pengalaman di bidang pemerintahan dan usianya baru sekitar 40 tahun, ia merasa mampu menjadi Pemimpin Negeri dan bertekad memberantas korupsi. Pasangannya seorang pengusaha. Mereka berdua diusung dua partai berbasis agama dan beberapa partai non-kursi.
Kandidat keempat mantan Kepala Staf Panglima Perang yang tentu saja lebih banyak berada di belakang meja. Badannya tinggi besar tapi berpembawaan tenang. Sangat jauh dari kesan sangar, angker, atau semacamnya sebagaimana umumnya mantan anggota pasukan keamanan.
Dengan berbekal pengalaman di bidang keamanan negeri dan pernah kuliah di sebuah perguruan tinggi swasta, ia sudah merasa mampu menjadi Pemimpin Negeri. Ia berpasangan dengan seorang pengusaha yang tinggi badannya hanya sekitar 160 cm (tinggi badan rata-rata rakyat Negeri Antah-berantah berdasarkan hasil survey yaitu 172 cm).
Pasangan ini diusung Partai Demonstrasi untuk Rakyat, sebuah partai baru yang pada pemilu raya lalu keluar sebagai peraih suara terbanyak kedua.
Kandidat kelima yaitu Wakil Pemimpin Negeri yang memilih 'bercerai' untuk berlawanan dengan Pemimpin Negeri pada pemilu raya nanti. Sebagai mantan Pemimpin Anak Negeri Suka Wangsit selama hampir dua periode, tentu saja ia merasa mampu menjadi Pemimpin Negeri.
Ia memilih berpasangan dengan Ketua Parlemen Rakyat Antah-berantah. Mereka diusung tiga partai yang kursinya cukup banyak di parlemen.
Karena pemilu raya sudah dekat, suasana negeri pun menjadi lebih ramai dari biasanya. Baliho, poster, dan umbul-umbul para pasangan kandidat menghiasai berbagai jalan, lorong, perumahan, warung kopi, dan berbagai tempat lainnya. Berbagai jargon politik dan janji dari para kandidat juga tidak ketinggalan.
Pembicaraan mengenai pemilu raya pun begitu ramai, mulai dari kantor-kantor pemerintahan, kantor bank, kampus, hingga di pasar tradisional. Di warung kopi apalagi, karena orang bisa ngobrol berjam-jam sambil memandang foto para kandidat Pemimpin Negeri di dinding.
Di sebuah warkop, empat orang yang berbeda usia dan latar belakang sedang asyik ngobrol ngalor-ngidul, tetapi seperti biasa pembicaraan tentang politik dan pemilu raya lebih dominan.
''Kita seharusnya bersyukur karena lima kandidat Pemimpin Negeri bersama wakilnya masing-masing, adalah orang-orang hebat. Ada ustaz, ada mantan Pemimpin Anak Negeri, ada perempuan, ada mantan wakil panglima perang, dan juga masih ada Pemimpin Negeri kita yang akan berpasangan dengan seorang profesor,'' tutur orang pertama yang wartawan sebuah koran harian.
''Mereka memang orang-orang hebat, tetapi belum tentu bisa mengubah keadaan. Belum tentu bisa mengurangi pengangguran. Belum tentu bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat. Belum tentu bisa meringankan biaya pendidikan,'' ujar orang kedua yang pensiunan pejabat di pemerintahan.
''Kalau tidak bisa mengubah keadaan, itu berarti mereka hanya merasa mampu, tetapi sebenarnya tidak punya kemampuan untuk menjadi pemimpin,'' kata orang ketiga yang dosen di sebuah perguruan tinggi swasta.

Profesor dan Orang Gila

Orang keempat yang pemimpin umum sebuah tabloid mingguan mengingatkan bahwa orang pintar belum tentu pandai. Orang pandai belum tentu mampu menjadi pemimpin.
Dia kemudian menceritakan tentang pertemuan seorang profesor dengan seorang gila yang sama-sama memancing di pinggir kali, tetapi sang profesor tidak tahu kalau orang yang ada di sampingnya adalah orang gila. Kebetulan di dekat mereka ada seekor katak yang cukup besar.
"Berapa lompatan yang diperlukan katak itu untuk sampai ke seberang kali?" tanya si gila.
Sang profesor memperkirakan lebar kali kurang lebih 1.250 meter, sedangkan katak besar itu dia perkirakan mampu melompat sejauh 50 cm, maka ia menyimpulkan bahwa katak itu butuh 2.500 lompatan.
Orang gila di sampingnya tertawa-tawa mendengarkan jawaban sang profesor. Dia mengatakan, katak itu hanya butuh dua kali lompatan untuk sampai di seberang kali.
Sang profesor tentu saja heran dan mulai curiga bahwa orang di sampingnya itu tidak waras.
''Lompatan pertama ke air. Setelah itu katak akan berenang. Sampai di ujung, katak baru akan melompat lagi ke darat,'' jelas si gila lalu tertawa lebih keras lagi.
Mendengar cerita tersebut, tiga rekan minum kopinya tak bisa menahan tawa. Suasana warung kopi pun menjadi ramai oleh tawa mereka.
Setelah tawa mereka agak reda, orang kedua yang pensiunan pejabat di pemerintahan, kemudian berkata; ''Dan kita semua bisa seperti profesor itu.''
Warung kopi lagi-lagi dipenuhi tawa keempat orang itu.
Orang kedua melanjutkan; ''Mudah-mudahan para kandidat Pemimpin Negeri kita tidak cuma pandai tetapi juga mampu melihat realita yang ada.''
Sepulang dari warung kopi, orang ketiga yang dosen di sebuah perguruan tinggi swasta merasa mendapatkan bahan cerita untuk dibagikan kepada mahasiswanya. Ia juga menyadari bahwa orang yang pandai dalam logika, bisa saja bodoh terhadap realita.
Orang pandai, orang yang pernah memimpin perguruan tinggi, orang yangberpengalaman di birokrat, orang yang ahli strategi perang di militer, orang yang menguasai ilmu agama, orang yang sudah malang-melintang di dunia politik, orang yang aktif di LSM, orang yang sukses di dunia usaha, mungkin banyak yang merasa mampu menjadi pemimpin.
Seperti orang kedua di warung kopi yang pensiunan pejabat pemerintahan, sang dosen pun berharap para kandidat Pemimpin Negeri tidak cuma pandai tetapi juga mampu melihat realita yang ada.

Makassar, 6 Mei 2007

(Dimuat di harian Pedoman Rakyat,
Makassar, Senin, 7 Mei 2007)

Perselingkuhan Politik


Perselingkuhan Politik

(Oleh: Asnawin)

Hampir setiap hari, Gogo Putih ke warkop. Sebagai seorang pengusaha yang juga terjun ke dunia politik, dia merasa perlu bahkan hampir mewajibkan dirinya ke warkop setiap hari. Kalau ada hari yang terlewatkan, itu pasti karena dirinya sedang sibuk.
Suatu pagi, dia berangkat dari rumah menuju kantornya. Dia memang selalu ke kantor terlebih dahulu untuk memberikan pengarahan atau sekadar menyapa karyawannya, sebelum ke warkop. Kalau ada urusan penting, ke warkopnya bisa lebih siang atau lebih sore lagi. Yang pasti, dia selalu meluangkan waktu ke warkop.
Di tengah perjalanan menuju kantornya, Gogo Putih merasakan ada keanehan. Dia merasa jalanan yang di tempuhnya agak berbeda dari biasanya, malahan terlalu asing baginya. Model rumah, model kantor, dan orang-orang yang ditemuinya semuanya begitu berbeda.
Di depan sebuah kafe, dia menghentikan mobilnya dan kemudian masuk. Seorang perempuan pelayan kafe datang menyodorkan daftar menu, tetapi tanpa membaca daftar menu, dia langsung memesan kopi susu, roti bakar kaya, dan telur ayam kampung setengah masak dua butir. Si pelayan tampak heran, tetapi ia segera meninggalkan Gogo Putih yang tampak tenang-tenang saja meskipun diliputi keheranan.
Sebelum pesanannya datang, seseorang berpakaian safari yang di belakangnya menyusul beberapa orang berpakaian hitam-hitam, mendatanginya dan langsung menyapa dengan akrab.
''Sudah lama saya ingin bertemu dengan anda. Apa kabar,'' kata pria bersafari dan memakai kaca mata itu sambil menyodorkan tangan kanannya untuk bersalaman dengan Gogo Putih.
Gogo Putih memperkirakan usia pria tanpa kumis itu sekitar 50 tahun dan kuat dugaannya bahwa orang itu adalah pejabat di pemerintahan, karena di kantongnya terpasang pin bundar berwarna kuning keemasan. Dia kemudian melirik ke meja sebelah dan menghitung ada lima pria berpakaian hitam yang mengawal si pejabat.
Meskipun tidak mengenal pria itu, Gogo Putih tetap tenang dan sambil tersenyum menyambut uluran tangan si pejabat dan mereka pun bersalaman erat sambil tersenyum.
''Saya baik-baik saja, tetapi saya heran karena tiba-tiba saja saya sudah berada di kota ini,'' ujar Gogo Putih.
Seorang wanita pelayan datang sambil membawa kopi susu, roti bakar kaya, dan telur setengah matang pesanan Gogo Putih, sekaligus membawa jus durian untuk sang pejabat. Gogo Putih dan si pejabat bersamaan mengucapkan terima kasih sambil tersenyum kepada si pelayan yang kebetulan berwajah manis.
Si pejabat kemudian membuka pembicaraan tentang calon pasangannya dalam pemilihan gubernur (pilgub) beberapa bulan mendatang. Calon pasangannya itu seorang pria yang usianya lebih muda lima tahun, tetapi sudah menjabat ketua dewan perwakilan rakyat dan menduduki jabatan strategis di partainya.
''Banyak yang mendukung kami dan mereka optimis kami akan menang dalam pilgub nanti,'' ujar si pejabat.
''Bagaimana dengan partai pendukung anda?'' tanya Gogo Putih.
''Dari empat parpol pendukung, ada dua yang bersandiwara di media,'' kata si pejabat.
''Bersandiwara bagaimana?'' tanya Gogo Putih lagi.
''Ketuanya bilang tidak bisa menerima calon pasangan saya, karena berasal dari partai lain yang tidak mendukung saya. Tetapi saya yakin keduanya kemungkinan besar akan menerima siapapun yang akan saya pilih untuk menjadi calon wakil saya,'' tutur si pejabat.
''Kelihatannya anda begitu yakin?'' ujar Gogo Putih.
''Karena saya sudah beberapa kali membantu mereka, baik kepada pribadi ketuanya, maupun kepada partainya,'' ungkap si pejabat.
''Saya kira itu belum cukup,'' kata Gogo Putih.
''Kami juga sudah ada 'deal-deal' politik, baik untuk menghadapi Pemilu mendatang, maupun dalam pilkada beberapa kabupaten dan kota,'' papar si pejabat.
''Saya kira itu belum cukup untuk memenangkan pilgub nanti. Anda juga harus menjalin komunikasi yang baik dengan orang-orang KPU, serta para bupati dan walikota,'' kata Gogo Putih.
''Saya bersama tim saya sudah berupaya. Mudah-mudahan ada kesepahaman di antara kami nanti,'' kata si pejabat.
Tiba-tiba ponsel si pejabat berdering.
''Maaf, saya terima telepon dulu,'' kata si pejabat lalu berbicara dengan seseorang di balik telepon.
''Maaf, saya sudah dari tadi ditunggu untuk menghadiri suatu acara. Saya tinggal dulu, nanti kita ketemu lagi,'' kata si pejabat lalu bersalaman dengan Gogo Putih dan kemudian pergi bersama lima pengawalnya.
Tak lama kemudian, ponsel Gogo Putih juga bergetar. Sebelum getarannya hilang dan berubah menjadi bunyi, dia langsung mengangkatnya.
''Warkop menunggu kehadiran anda, teman-teman sudah menunggu,'' terdengar suara seorang pria dari balik telepon.
''Saya memang mau ke warkop, tetapi sekarang saya berada di sebuah kota yang sangat asing,'' kata Gogo Putih.
''Jangan-jangan anda kesasar ke Negeri Antah-berantah,'' kata pria itu sambil tertawa.
''Saya tidak tahu, tetapi saya benar-benar ingin pulang,'' kata Gogo Putih.
''Saran saya, tenangkan diri sejenak lalu berdoa, kemudian anda naik ke mobil dan membawanya dengan santai,'' kata pria itu lagi.
Gogo Putih kemudian mengikuti saran itu dan entah bagaimana tiba-tiba dia sudah berada di jalan menuju warkop tempat pria yang menelepon tadi sedang ngopi dengan beberapa rekannya.

Makassar, 29 April 2007

(Dimuat di harian Pedoman Rakyat,
Makassar, Senin, 30 April 2007)

Ujian Provinsi


Ujian Provinsi

LOGIKANYA, kalau ada ujian nasional (bagi siswa SMA dan sekolah sederajat, serta SMP dan sekolah sederajat), maka tentu ada pula ujian provinsi, ujian kabupaten/kota, dan seterusnya.
Begitu pun kalau ada bencana nasional, maka tentu ada juga bencana provinsi, bencana kabupaten/kota, dan seterusnya.
Apakah pemilihan gubernur (pilgub) Sulsel termasuk ujian atau bencana?
Menurut kamus, ujian adalah pemeriksaan, cobaan, atau sesuatu yang dipakai untuk menguji mutu sesuatu (kepandaian, kemampuan hasil belajar, dsb). Bencana adalah sesuatu yang menyebabkan atau menimbulkan kesusahan, kerugian, atau penderitaan, malapetaka, kecelakaan, marabahaya.
Dari pengertian itu, pilgub Sulsel jelas merupakan ujian bagi pemerintah dan masyarakat Provinsi Sulsel. Pilgub mudah-mudahan belum sampai kepada bencana, karena belum ada kesimpulan bersama bahwa apa yang dilakukan oleh orang-orang yang disebut-sebut sebagai bakal calon gubernur, telah menimbulkan kesusahan, kerugian, penderitaan, malapetaka, kecelakaan, atau marabahaya.
Sebagai ujian, dapatkah pemerintah provinsi Sulsel bersama Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulsel, melaksanakan pilgub secara demokratis, jujur, transparan, tertib, dan lancar?
Di sisi lain, apakah masyarakat sudah siap menyongsong atau ogah-ogah saja menghadapi pilgub?
Bagaimana kalau yang akan bersaing dalam pilgub adalah bagian dari unsur pemerintahan? Bagaimana kalau yang akan bersaing untuk menjadi gubernur adalah orang yang kini masih menjabat gubernur versus orang yang juga masih menjabat wakil gubernur (wagub)?
Jabatan dan fasilitas yang melekat pada diri gubernur dan wagub tentu sulit dipisahkan. Masyarakat kadang-kadang bingung dan bertanya-tanya kalau gubernur dan wagub melakukan perjalanan/kunjungan ke luar kota, atau menerima tamu dan mengadakan kegiatan di rumah jabatan. Apakah perjalanan atau kunjungan keluar kota itu dalam kapasitas sebagai gubernur/wagub, ataukah sebagai pribadi/pengurus organisasi?
Pertanyaan itu wajar diutarakan, karena tidak jarang, gubernur dan wagub menghadiri kegiatan yang sebenarnya bisa diwakilkan kepada Sekretaris Provinsi, Asisten Sekprov, Kepala Dinas, Kepala Badan, atau Kepala Biro. Kegiatan itu bahkan selama ini 'tidak dilirik' oleh bupati dan mewakilkannya kepada pejabat di lingkup pemerintah kabupaten.
Masyarakat juga heran, karena sekitar satu tahun terakhir ini, gubernur dan wagub begitu sering melakukan perjalanan atau kunjungan keluar kota. Gubernur dan wagub juga tidak terlalu sulit membagi waktu untuk menghadiri berbagai kegiatan di dalam kota.
''Padahal selama ini gubernur lebih banyak di kantor,'' kata seorang teman saat ngopi bersama beberapa teman lain di salah satu warkop.
''Itu dulu. Sekarang 'kan masyarakat ingin bertemu langsung dengan gubernurnya, dan sebaliknya gubernur juga ingin memberikan pelayanan maksimal kepada rakyatnya,'' timpal teman yang lain.
''Bagaimana kalau gubernurnya 'oppo' (terpilih kembali menjadi gubernur)? Apakah beliau masih mau lebih banyak keluar kota dan menghadiri berbagai kegiatan? Apakah beliau akan melakukannya selama lima tahun?'' tanya teman yang pertama.
''Jangko marah belah,'' kata teman yang kedua mencairkan suasana.
Kami semua lalu tertawa.
Obrolan warung kopi itu sepertinya sepele, karena memang sudah menjadi perbincangan atau bahkan bahan guyon di warkop, tetapi pertanyaan ''Apakah beliau masih mau lebih banyak keluar kota dan menghadiri berbagai kegiatan? Apakah beliau akan melakukannya selama lima tahun?'', mungkin perlu menjadi bahan pertimbangan bagi gubernur yang ingin maju kembali dalam pilgub.
Kalau seorang gubernur terlalu sering keluar kota, melakukan kunjungan, atau menghadiri berbagai kegiatan, mungkin saja masyarakat atau orang-orang yang bertemu dengan beliau akan senang. Apalagi kalau gubernur memberikan bantuan. Tetapi bukankah itu berarti gubernur jarang berada di kantor? Bukankah itu berarti gubernur jarang melaksanakan tugas sehari-hari di kantor?
''Yang aneh, bapak wagub kita ikut-ikutan sering keluar kota dan banyak menghadiri berbagai kegiatan,'' ujar seorang teman pada kesempatan lain saat ngopi di warkop.
''Tapi saya sukaji Pak Wagub, karena beliau juga masih sempat meluangkan waktu duduk-duduk di warung kopi. Itu berarti beliau adalah bagian dari komunitas kita, komunitas warga warung kopi,'' kata teman lain sambil tertawa.
Seringnya gubernur dan wagub keluar kota, melakukan kunjungan, atau menghadiri berbagai kegiatan, baru satu sisi. Masih banyak sisi lain dari kedua figur sentral ini, baik dalam kapasitasnya sebagai birokrat, sebagai pengurus organisasi, maupun dalam kehidupannya sehari-hari.
Masyarakat tidak bisa dilarang untuk menilai. Masyarakat tidak bisa dilarang untuk menyimpulkan. Masyarakat tidak bisa dilarang untuk memilih, bahkan masyarakat juga tidak bisa dilarang untuk tidak memilih. Karena pilgub ini adalah ujian provinsi. Ujian bagi masyarakat, ujian bagi pemerintah, dan ujian bagi anggota KPU.
Semoga kita lulus dalam ujian itu. Semoga pilgub ini tidak membawa bencana.***

Makassar, 22 April 2007

(Dimuat di harian Pedoman Rakyat,
Makassar, Senin, 23 April 2007)

Politik itu Cair


Politisi lain mengatakan politik itu cair. Tidak beku. Dia bisa mengalir kemana saja. 'Di politik, hari ini kita mungkin berteman, tetapi besok mungkin saja kita akan bermusuhan. Atau sebaliknya, hari ini kita bermusuhan, tetapi besok berteman. Tergantung kepentingan.